Berdampak Negatif, Pelaku Usaha Mengeluhkan PPKM Jawa-Bali

Kebijakan PPKM di Jawa-Bali dikeluhkan kalangan pelaku usaha, menyusul dampak negatifnya terhadap aktivitas bisnis.

Editor: Vito
TRIBUN JATENG/EKA YULIANTI
ilustrasi pembatasan kegiatan masyarakat (PKM) di Kota Semarang 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali yang akan dimulai pada hari ini, Senin (11/1) hingga 25 Januari terus dikeluhkan kalangan pelaku usaha. Hal itu menyusul dampak negatifnya terhadap aktivitas bisnis.

Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran menyebut, penerapan PPKM Jawa-Bali dilematis.

Sektor pariwisata, terutama hotel dan restoran mau tidak mau harus mengikuti aturan tersebut, meski kini kondisinya masih berat.

Ia mengatakan, pihaknya sangat memahami penerapan kebijakan itu yang didasarkan pada jumlah kasus positif covid-19 yang terus meningkat, sehingga penerapan PPKM disebut menjadi satu upaya menekan laju pertambahan kasus.

"Kalau kammi ditanya bagaimana, ya tentu idealnya kami berharap pembatasan itu tidak dilakukan, tapi kan di sisi lain dilematis, ini angka positifnya naik. Bagi kami ini situasi yang tidak ada pilihan, sangat dilematis," katanya, Minggu (10/1).

Maulana menuturkan, sektor pariwisata diakui sangat berat untuk dapat bergerak di masa pandemi, di mana kegiatan pariwisata membutuhkan interaksi orang dan pergerakan masyarakat di dalamnya.

Alhasil, pergerakan masyarakat tentu berbanding terbalik dengan upaya mencegah penyebaran virus dengan pembatasan pergerakan masyarakat.

"Cukup rumit sekarang, nggak bisa pariwisata sama sekali untuk bisa berkembang di situasi pandemi," ungkapnya.

Maulana berharap ada kelonggaran yang diberikan pemerintah kepada pelaku pariwisata, terutama perhotelan dan restoran.

Dengan beratnya pendapatan sektor perhotelan dan restoran saat ini, kelonggaran atau keringanan pajak seperti pajak reklame hingga PBB diharapkan bisa diberikan pemerintah.

"Pemerintah juga bisa bijak memberikan suatu keringanan untuk sektor pariwisata, misal hotel dan restoran itu kan sangat berat sekali reklame itu (beban biaya-Red). Harusnya dipertimbangkan di sektor pariwisata, karena kondisinya semua tahu bahwa sektor tersebut tidak bisa bergerak sama sekali 10 bulan ini," paparnya.

Masih jauh

Adapun saat ini, kondisi sektor pariwisata jika dibandingkan dengan titik terendah pada April 2020 lalu memang ada peningkatan.

Namun, Maulana mengungkapkan, peningkatannya masih jauh dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam artian, sektor perhotelan dan restoran masih melakukan efisiensi besar-besaran untuk bertahan.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved