Dinamika Hukum
Mampukah Kapolri Listyo Sigit Prabowo Menyeret Anak Buah ke Pengadilan?
PRESIDEN dan DPR sepakat terhadap pencalonan Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri baru
Oleh: Cecep Burdansyah SH MH
Pengamat Hukum
PRESIDEN dan DPR sepakat terhadap pencalonan Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri baru, menggantikan Jenderal Idham Aziz yang memasuki pensiun. Kalau tak ada aral melintang, pelantikan rencananya dilakukan di Istana Negara, Rabu (27/1) ini.
Listyo Sigit bisa melewati uji kelayakan di hadapan Komisi III relatif sangat mulus. Dengan mengusung konsep "presisi di tubuh Polri", semua anggota Komisi III dan fraksi secara aklamasi menyetujui penunjukan Listyo Sigit sebagai Kapolri. Pertanyaan dari anggota Komisi III terjawab dengan gamblang.
Awalnya Listyo Sigit memang termasuk calon yang keterpilihannya lebih rendah, mengingat tradisi Kapolri selalu beragama Islam. Dalam sejarah, hanya ada satu Kapolri yang beragama Kristen, yaitu Jenderal Widodo Budi Darmo , Kapolri periode 1974 - 1978.
Namun penunjukkan Listyo Sigit oleh Jokowi menunjukkan konsistensi dalam penerapan konstitusi. Seperti diketahui, dalam konstitusi semua anak bangsa, berhak mendapat kesempatan menjabat apa pun, baik jabatan sipil, pemerintahan, polisi dan militer tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis dan daerah. Semua mempunyai kesempatan yang sama berdasarkan kemampuan dan integritas.
Di dalam UU Kapolri pun, yaitu UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, tidak diatur soal angkatan. Yang penting, berdasarkan Pasal 11 ayat (6) menyebutkan, calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
Listyo Sigit memenuhi syarat Pasal ayat (6). Dia perwira yang masih aktif, panngkatnya sudah bintang tiga, dan kariernya sudah berada di puncak, yaitu menjabat Kepala Bagian Reserse Kriminal (Kabareskrim). Kabareskrim adalah jabatan penting dan strategis di tubuh Polri.
Listyo Sigit juga sudah teruji menjadi Kapolda Banten dan sangat diterima oleh para ulama Banten. Hal ini membuktikan jenderal bintang tiga kelahiran Ambon ini bisa merangkul berbagai lapisan masyarakat dari kalangan apa pun, termasuk ulama.
Tantangan Berat
Yang perlu dipersoalkan publik bukanlah soal latar belakang agama, etnis atau daerah dari sosok Listyo Sigit. Justru yang harus disorot dan dipersoalkan adalah integritasnya dalam merampungkan semua persoalan yang masih melilit Polri.
Misalnya saja, di lapangan, pungutan liar para polisi lalu-lintas masih sering terjadi. Jangankan di daerah, di jakarta saja, di pusat ibu kota yang dekat dengan kekuasaan, masih kerap terjadi pungli yang dilakukan anggota Polri di lapangan.
Janji Listyo Sigit untuk menghilangkan pungli benar-benar didambakan masyarakat. Ungkapan kehilangan kambing malah kehilangan sapi jika mengadu ke polisi, harus benar-benar hilang, sesuai dengan konsep presisi.
Selain soal pungutan liar yang sudah jadi penyakit akut dan berkepanjangan, yang tak kalah berat adalah melaksanakan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terkait tewasnya anggota laskar Front Pembela Islam (FPI).
Seperti diketahui, temuan Komnas HAM, ada empat anggota laskar FPI yang ditembak petugas menyalahi prosedur. Empat dari enam anggota FPI itu tewas dalam penguasaan petugas negara. Nah, temuan inilah yang harus segera diselesaikan Listyo Sigit sebagai Kapolri baru. Apakah ia berani menyeret petugas yang menembak empat anggota laskar FPI itu ke pengadilan, sesuai rekomendasi HAM?
Kalau melihat janji seperti diungkapkannya dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, ia tak akan ragu menuntaskan rekomendasi HAM. Publik tentu akan menunggu dan menagih janjinya ini. Sebab, pada poin inilah letaknya integritas seseorang, yaitu kesesuaian antara ucapan dan tindakan.
Tentu saja merampungkan rekomendasi Komnas HAM ini termasuk berat, mengingat kasus ini menjadi sorotan publik. Bila Listyo mampu menyeret petugas ke ranah pengadilan, akan jadi kunci keberhasilan Listyo dalam mengemban tugas selanjutnya. Artinya, ia tak ada ewuh pakewuh meskipun harus menyeret anak buahnya ke pengadilan. (*)