Berita Semarang

Foto Tragedi Banjir Bandang Semarang 25 Januari 1990, 194 Tewas: Banjir 2021 Tidak Ada Apa-apanya

Awal tahun 2021 Kota Semarang di kepung banjir. Berbagai wilayah di Kota lumpia ini direndam air. 

Penulis: iwan Arifianto | Editor: galih permadi
TRIBUNJATENG/IWAN ARIFIANTO
Foto dokumentasi yang merekam kondisi paska banjir bandang Semarang 25 Januari 1990 yang menewaskan ratusan jiwa dan meluluhlantakan kawasan pemukiman di Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Awal tahun 2021 Kota Semarang di kepung banjir. 

Berbagai wilayah di Kota lumpia ini direndam air. 

10 dari 16 kecamatan di Kota Semarang dikungkum. 

Akses Jalan Mangkang pantura sempat terputus. 

Jalan Kaligawe berkali-kali lumpuh. 

Beragam fasilitas umum dan moda transportasi seperti Bandara dan Kereta Api pelayanannya sempat mandek. 

Simpang Lima yang menjadi pusat Kota juga sempat terendam meski hanya hitungan jam. 

Pun dengan laman media sosial juga dibanjiri keluh  kesah masyarakat lantaran banjir. 

Kurangnya pompa air dan intensitas hujan tinggi menjadi alasan pihak terkait dalam menjawab segala tudingan yang muncul dari persoalan ini. 

Namun benarkah banjir pada awal tahun ini menjadi momen terparah banjir di Kota Semarang?. 

"Banjir awal tahun ini tak ada apa-apanya dengan banjir bandang 25 Januari tahun 1990," ungkap warga Ngemplak Simongan, Semarang Barat, Bayu Wanapati kepada Tribunjateng.com, Rabu (3/3/2021).

Foto dokumentasi yang merekam kondisi paska banjir bandang Semarang 25 Januari 1990 yang menewaskan ratusan jiwa dan meluluhlantakan kawasan pemukiman di Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan.
Foto dokumentasi yang merekam kondisi paska banjir bandang Semarang 25 Januari 1990 yang menewaskan ratusan jiwa dan meluluhlantakan kawasan pemukiman di Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan. (TRIBUNJATENG/IWAN ARIFIANTO/Repro)

Banjir bandang yang dimaksud oleh Bayu memang menjadi peristiwa sejarah paling kelam Kota Semarang. 

Pasalnya bencana itu memakan ratusan jiwa. 

Meski Pemerintah secara resmi menyebut korban hanya 197 jiwa, bagi penyintas bencana banjir bandang Semarang seperti Bayu, berkeyakinan angka korban lebih dari itu. 

Dia dengan mata kepala sendiri melihat mayat ditumpuk di beberapa lokasi. 

Seperti di Kampung Ringin Telu, Manyaran dan Karang Jangkang, Ngemplak Simongan. 

Belum lagi tragedi pabrik kayu Kurnia Jati yang puluhan pekerjanya  tewas akibat terkunci dari luar gedung saat banjir menerjang. 

Di jalan depan rumahnya melihat mayat bayi dan dewasa baik pria maupun perempuan. 

Foto dokumentasi yang merekam kondisi paska banjir bandang Semarang 25 Januari 1990 yang menewaskan ratusan jiwa dan meluluhlantakan kawasan pemukiman di Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan.
Foto dokumentasi yang merekam kondisi paska banjir bandang Semarang 25 Januari 1990 yang menewaskan ratusan jiwa dan meluluhlantakan kawasan pemukiman di Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan. (TRIBUNJATENG/IWAN ARIFIANTO/repro)

"Mayat ada di mana-mana.

Di kampung saya ada belasan. 

Belum daerah lain jadi saya yakin korban lebih dari yang didata," katanya. 

Bayu mengenang kejadian mengerikan tersebut. 

Dia mengingat kejadian pada waktu dini hari sebelum waktu subuh antara pukul 01.00 hingga 03.00.

Air bah tiba-tiba datang masuk menghantam pintu rumah. 

Dia  kaget melihat banjir masuk ke kamarnya. 

Membuatnya dan orang seisi rumah panik. 

Dia  lalu dibawa oleh orangtuanya ke lantai dua rumah. 

Foto dokumentasi yang merekam kondisi paska banjir bandang Semarang 25 Januari 1990 yang menewaskan ratusan jiwa dan meluluhlantakan kawasan pemukiman di Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan.
Foto dokumentasi yang merekam kondisi paska banjir bandang Semarang 25 Januari 1990 yang menewaskan ratusan jiwa dan meluluhlantakan kawasan pemukiman di Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan. (TRIBUNJATENG/IWAN ARIFIANTO/repro)

Lantai bawah rumahnya sudah terendam air sekira 2 meter lebih. 

Dia bersama keluarga menyelamatkan diri ke ke atas atap rumah. 

Banjir bandang meluluhtantakkan kawasan sepanjang sungai Kaligarang atau Banjir Kanal Barat meliputi Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan. 

Mulai  dari wilayah Bendan Ngisor, Simongan, Sampangan,  Puspanjolo hingga kawasan Tanah Mas dan lainnya. 

"Kami berada di genting rumah. 

Saat itu gelap, saya hanya melihat air di sepanjang mata memandang," ujarnya. 

Beruntung banjir bandang tersebut berlangsung tak lama. 

Dia memperkirakan banjir hanya menyapu wilayahnya selama 4 jam. 

"Kejadian itu terjadi waktu saya masih kelas 3 SD. 

Banjir bandang tersebut mirip dengan kejadian tsunami," terangnya. 

Dia mengatakan, penderitaan para korban banjir  lebih terasa paksa bencana. 

Para korban tak tersentuh bantuan sepenuhnya. 

Mereka membersihkan rumah hingga makan dilakukan secara mandiri. 

Pemulihan paska bencana baik infrastruktur dan psikologi korban juga tak diperhatikan secara maksimal. 

Dia maklum, ketika itu mitigasi bencana di daerah tak sebaik sekarang. 

"Dahulu menderitanya luar biasa," terangnya. 

Tak heran kejadian itu teramat membekas diingatan Bayu. 

Bahkan menurutnya, dari kejadian itu masih  meninggalkan rasa trauma mendalam. 

Rasa trauma masih ada hingga sekarang. 

Apalagi ketika hujan deras turun seharian sampai waktu malam hari. 

Membuat tidurnya tak nyenyak lantaran takut kejadian tersebut terulang. 

"Bagi kami warga asli sini masih trauma. 

Tak hanya saya, melainkan istri, kerabat, dan tetangga juga merasakan hal yang sama. 

Tiap hujan deras turun seharian saya pribadi siaga," ujarnya. 

Padahal, kata dia, banjir bandang tragedi 1990 kecil kemungkinan kembali terjadi. 

Pasalnya daerah atas sudah di bangun waduk Jatibarang yang tentunya mengurangi debit air yang mengalir ke sungai di Semarang seperti Kaligarang dan Kali Semarang. 

Sebelum dibangun waduk air yang masuk ke Bendung Simongan tercatat 1.000 liter perdetik. 

Kini lebih rendah dengan jumlah maksimal 750 liter perdetik. 

"Dalam banjir juga dikenal siklus 15 tahunan. 

Hal itu pasti ada namun tak akan separah dahulu," kata pria yang bekerja sebagai koordinator Bendung Simongan tersebut. 

Dia mengatakan, lebih cenderung percaya dengan momen banjir 2 tahunan. 

Pengamatan itu dilakukan sejak 2016.

Secara berkala dalam jeda 2 tahunan itu banjir seringkali melanda Kota Semarang, termasuk di tahun 2021.

"Saya mengamati seperti itu. 

Ada titik elevasi ketinggian air yang persis terjadi di periodik waktu tersebut," tuturnya.

Sementara itu, saksi mata paska bencana, Johanes Cristiono yang melihat persis akibat banjir bandang Semarang. 

Lantaran dia mendapat tugas peliputan kejadian itu. 

Waktu itu dia bekerja sebagai jurnalis di sebuah media massa cetak di Jateng. 

Dia mengatakan, pandangan matanya hanya melihat kerusakan rumah yang diterjang banjir yang dipenuhi lumpur. 

Mayat manusia ada yang tersangkut di pohon, berserakan di jalan dan berbagai tempat lainnya. 

Dia juga melihat hewan ternak berupa sapi di jalan dengan tubuh menggelembung. 

"Saat tiba di lokasi kejadian saya lihat warga hanya bisa diam. 

Mereka tak mampu menceritakan peristiwa yang baru saja mereka alami," katanya. 

Bahkan para korban bencana banjir bandang yang masih selamat mereka mengalami kelaparan. 

Harta dan benda mereka telah raib digondol banjir. 

Otomatis mematikan kehidupan mereka meski sesaat. 

Dia menuturkan, para korban banjir ketika ditemui mereka bertanya apa bawa makanan. 

Terketuk dengan kondisi tersebut, dia bersama para kawannya lantas mencari warung untuk membeli nasi bungkus dengan cara patungan. 

"Waktu itu cari warung juga susah apalagi ada bencana. 

Kami berusaha menolong korban banjir semampu kami, " terangnya. 

Dia menyebut,  banjir bandang Semarang merupakan yang terbesar dan mematikan yang pernah terjadi di Kota Semarang. 

Sebenarnya tanda-tanda banjir bandang sudah dapat terlihat tiga hari sebelum peristiwa atau pada 22 Januari 1990. 

Siang itu, kawasan Ungaran dilanda hujan lebat lebih dari tiga jam. 

Akibatnya , debit air meninggi dan menyebabkan banjir di beberapa daerah Semarang yang memang dilintasi sungai yang memiliki hulu dari sana. 

Tercatat, ada dua aliran sungai yang terhubung. 

Masing-masing di sisi barat terdapat Sungai Kaligarang dan di sebelah timur terdapat Sungai Kalibelang. 

”Pada tanggal 22 Januari dua sungai itu semuanya meluap. 

Baik yang Kalibelang maupun Kaligarang,” bebernya. 

Meluapnya Kaligarang membuat jaringan pipa PAM atau sekarang PDAM Tirta Moedal menuju Semarang rusak parah. 

Kerusakan itu juga sempat dia dokumentasikan. 

Pipa malang melintang tidak karuan. 

Jembatan bambu hanyut, bahkan arus air yang kuat mengakibatkan perubahan alur menuju Karangbolo yang merusak sawah. 

Sementara di Kalibelang, rumah hanyut karena tersapu air dari Ungaran. 

Berikutnya beberapa daerah di timur Semarang terendam banjir.

"Kondisi saat itu bisa menjadi patokan. 

Kalau Ungaran hujan lebat tiga jam atau lebih, bisa dipastikan Semarang banjir,” ujarnya. 

Selanjutnya, hujan deras kembali terjadi pada 25 Januari 1990. 

Ungaran barat dan timur sudah hujan sejak siang. 

Namun menjelang malam intensitasnya semakin meninggi. 

Dia mencatat hujan lebat sudah terjadi sejak pukul 20.00. 

"Saya pulang kerja dari kantor ke rumah di daerah Ungaran hanya bisa berjalan pelan. 

Waktu itu pukul 21.00.

Saking lebatnya hujan sampai-sampai windscreen wiper mobil jeep milik saya kesulitan untuk melibas air hujan," terangnya. 

Dia menduga akan terjadi banjir di Semarang meski tak menduga akan terjadi banjir bandang. 

Benar saja, selepas sampai di rumah dan beristirahat sebentar, telpon rumahnya berdering keras sekira pukul 01.00.

Dia ditelpon koordinator liputan yang memberitahukan bahwa Kota Semarang dilanda banjir. 

Atasanya tersebut mewanti-wanti agar pagi sudah di lokasi bersamanya untuk meliput tersebut. 

"Saya tidak menyangka dampak banjir sedemikian mengerikan," katanya. 

Salah satu rekannya, sambung dia, yang memiliki rumah di lokasi kejadian mengaku banjir datang tiba-tiba saat semua orang tidur. 

Suaranya menggelegar dengan kondisi di luar masih hujan deras dan petir menyambar. 

Suasana gelap karena listrik mati seketika. 

Dalam hitungan detik ketinggian airnya mencapai atap rumah. 

"Teman saya bercerita untuk menyelamatkan diri dari banjir harus melompat dari atap rumah ke rumah yang lebih tinggi. 

Bahkan ada yang sampai memanjat pohon karena tingginya air, " ujarnya. 

Paska kejadian evakuasi langsung dilakukan. 

Pihaknya mencatat pada hari pertama, petugas berhasil menemukan 47 jenazah. 

Mereka dikumpulkan di kantor Kelurahan Bongsari, Semarang Barat. 

Beberapa hari berikutnya Pemerintah secara resmi mengumumkan korban jiwa mencapai 197 orang. 

"Jumlah korban saya yakin lebih dari itu sebab selepas kejadian banyak juga mayat ditemukan di daerah muara atau pinggir pantai. 

Bahkan ada yang ditemukan di pesisir Kabupaten Demak," ungkapnya. 

Mirisnya, ada tragedi di Pabrik Kurnia Jati yang kala banjir terkunci di ruang pabrik saat mereka sedang bekerja di sift malam. 

Mereka para pekerja terjebak karena dikunci satpam dari luar sehingga saat banjir datang mereka tak bisa menyelamatkan diri. 

Di sisi lain, warga selamat yang terdampak pun direlokasi ke daerah sekitar Sadeng, Gunungpati yang dirasa lebih aman. 

Sedangkan di Sampangan kala itu ditetapkan jam malam. 

Agar tidak terjadi penjarahan barang-barang milik warga yang masih tertinggal. 

Kejadian tersebut juga ditetapkan sebagai bencana nasional. 

Karena ternyata sebenarnya banjir tidak hanya melanda Semarang bagian barat saja. 

Melainkan juga di bagian timur Kota Semarang yakni di sepanjang aliran Kalibelang menyebabkan area di banjir kanal timur terendam. 

"Di sana banjir tinggi hingga 1 meter lebih nanun tak separah di Kaligarang," paparnya. 

(Iwn)

Sumber: Tribun Jateng
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved