Ngopi Pagi
Antisipasi Radikalisme Mestinya Tak hanya Deklarasi
Ideologi radikalisme disebut menjadi biang teror tersebut. Memang ekstremisme dan terorisme tidak akan pernah bisa hilang sepenuhnya selama masih ada
Penulis: m nur huda | Editor: m nur huda
Tajuk Ditulis Oleh Jurnalis Tribun Jateng, M Nur Huda
TRIBUNJATENG.COM - Aksi teror kembali mencuri perhatian publik awal tahun ini. Diawali bom bunuh diri di gerbang Gereja Katedral Makassar yang menewaskan terduga pelaku, di antaranya L pria usia 25 tahun. Disusul aksi penyerangan di Mabes Polri yang dilakukan ZA perempuan usia 25 tahun.
Berikutnya, setelah ada aksi maka disusul pula aksi penangkapan terduga teroris di sejumlah daerah. Semisal di Jateng, penangkapan yang diketahui dilakukan di tiga daerah antaralain Klaten, Kudus dan Kota Semarang.
Ideologi radikalisme disebut menjadi biang teror tersebut. Memang ekstremisme dan terorisme tidak akan pernah bisa hilang sepenuhnya selama masih ada manusia di muka bumi.
Karena perbedaan merupakan sunatullah, sementara radikalisme mengekspresikan sesuatu yang tak disepakati melalui cara penyerangan hingga pembunuhan. Maka yang bisa dilakukan minimal memperkecil risiko.
Negara dalam hal ini menjadi tumpuan utama meminimalisasi paham ini. Sebab, negara yang memiliki perangkat lengkap, bertanggungjawab memberikan rasa aman dan damai terhadap segenap penduduknya, terutama dari ancaman aksi terorisme.
Dari kasus penyerangan Mabes Polri, dalam surat wasiat yang disebut ditulis pelaku ZA, terdapat satu poin ajakan untuk nonton konten dakwah di media sosial (medsos). Tentunya konten yang selama ini jadi rujukan pelaku. Dari itu jadi alarm bahwa medsos menjadi ajang doktrinasi seseorang hingga terlibat dalam aksi teror.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) salahsatu tugas pokok dan fungsinya adalah kontra radikalisasi. Maka mestinya upaya pencegahan berkembangnya paham ekstrem dapat dicegah.
Namun mengutip ungkapan Anggota Komisi III DPR Dipo Nusantara, anggaran yang disediakan justeru banyak untuk kunjungan kerja, diskusi-diskusi, belum terlihat upaya konkret pencegahan secara massif.
Persoalan sudah ada, maraknya konten doktrinasi paham radikalisme di medsos. Yang dilakukan mestinya membangun narasi alternatif mengenai pemahaman keagamaan dan kebangsaan, serta penjelasan mengenai falsafah Pancasila yang dijadikan dasar negara.
Sebab, generasi saaat ini tak lepas dari medsos sebagai sumber informasi utama. Akan sulit bagi mereka untuk terhindar dari gencarnya konten mengarah ke ekstremisme.
Memang sulit memutus mata rantai paham ini di Indonesia karena pelaku bekerja secara sembunyi-sembunyi, tertutup, atau menggunakan metode ‘clandestine’ lewat berbagai platform medsos. Namun, menggencarkan narasi alternatif kontra radikalisasi dan deradikalisasi sangat perlu.
Tentu, tidak mungkin hanya dibebankan pada BNPT maupun Densus 88 Polri semata. Diperlukan keterlibatan komponen masyarakat. Termasuk lintas kementerian yang berkaitan dengan teknologi informasi maupun keagamaan.
Upaya pembuatan narasi kontra radikalisasi berkelanjutan perlu mulai digencarkan. Bukan sekadar roadshow deklarasi antiradikalisme di sejumlah daerah semata, namun tak ada langkah konkret berkelanjutan.
Semisal, menguatkan jejaring di masyakarat yang memiliki bekal pengetahuan mumpuni sesuai kompetensinya untuk menggencarkan konten-konten rahmah di medsos. Baik berupa tulisan, karya seni, video, dan lain-lain.
Sebab, menjadi pasif tidak akan memperbaiki keadaan. Sikap demikian hanya menguntungkan teroris untuk makin bebas melancarkan aksinya dan menyebarkan ideologinya.
Mengutip ungkapan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, menghadapi maraknya konten menyimpang, maka Sing Waras Ojo Ngalah, atau yang berakal sehat jangan mengalah.(*)