Berita Semarang
Mbak Wolly Waria di Semarang Ubah Salon Jadi Tempat Ngaji saat Ramadan: Sebagai Ladang Ibadah
Salon Wolly tak ubahnya seperti salon pada umumnya. Dindingnya dipenuhi beberapa kaca lebar dan deretan alat kecantikan.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: galih permadi
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Salon Wolly tak ubahnya seperti salon pada umumnya.
Dindingnya dipenuhi beberapa kaca lebar dan deretan alat kecantikan.
Salon itu berada di gang sempit Kampung Randusari RT 6 RW 1, Semarang Selatan, Kota Semarang.
Namun setiba di salon tersebut yang terdengar bukan suara renyah emak-emak sosialita atau suara mesin pengering rambut.
Melainkan, yang terdengar hanya suara merdu orang melafalkan Al-quran.
Suara tersebut berasal dari anak-anak dan ibu-ibu yang tampak semangat belajar mengaji di salon tersebut.
Guru Ngaji di salon Wolly tak lain adalah pemilik salon itu.
Dia dikenal bernama Silvi Mutiari atau akrab disapa Mbak Wolly seorang waria atau transgender perempuan (transpuan).
Di hadapan Silvi, seorang anak, Guntur (10), tengah terbata-bata melafalkan huruf-huruf hijaiah dari buku Iqro.
Silvi mengenakan kerudung warna biru muda dengan sabar mengajari bocah kelas 5 SD itu.
Beberapa kali dia ditegur dengan halus oleh Silvi lantaran salah mengeja.
"Saya baru sampai Jilid 3, tapi mbak Mbak Wolly sabar kalau ngajar ngaji," terang Guntur kepada Tribunjateng.com, Rabu (14/4/2021).
Tak hanya anak-anak, seorang Ibu Mega (23), merasa betah belajar mengaji di tempat Silvi lantaran sudah tahu kemampuanya dalam mengajar mengaji.
"Saya sudah kenal mbak Silvi sejak kecil.
Jadi tahu lah kapasitas beliau soal belajar mengaji," terangnya.
Dia mengatakan, tak memandang soal kondisi silvi sebagai seorang transpuan.
Baginya, selama orang tersebut mau berbagi kebaikan dengan ikhlas maka tak perlu dipandang statusnya.
"Sebagai tetangga saya sudah kenal siapa beliau jadi tak ada masalah," terangnya.
Dia melanjutkan, belajar mengaji di tempat tersebut mulai masa pandemi Covid-19.
Belajar mengaji dilakukan jelang magrib sekira pukul 17.00.
Akan tetapi selama ramadan jadwal dimajukan tepat bada Asar sekira pukul 15.00.
"Kalau mbak Silvi ada job rias di luar kami libur," terangnya.
Sementara itu, Silvi Mutiari menjelaskan, mengajar mengaji kepada para ibu dan anak di lingkungan sekitarnya bukanlah kemauannya.
Aktivitas mengajar mengaji tersebut bermula saat ustadzah di Kampungnya memilih tak mengajar lantaran pandemi Covid-19.
Para tetangga di dekat rumahnya lantas menunjuknya untuk mengajar mengaji ke anak-anak dan para Ibu.
"Mereka tak mau adanya pandemi lalu libur mengaji.
Mereka lantas menujuk saya untuk mengajari ngaji," terang
Ketua Persatuan Waria Semarang (Perwaris) Kota Semarang itu.
Dia mengatakan, anak-anak yang belajar mengaji di tempatnya ada empat orang.
Sedangkan para ibu ada sebanyak 10 orang.
Tak hanya belajar mengaji, mereka juga rutin melakukan kegiatan rutin berupa yasinan dan tahlilan.
"Saya ikhlas secara sukarela mengajar ngaji mereka.
Saya ingat dulu ga mudah juga mencari ilmu sehingga saya ingin berbagi ilmu.
Sekaligus sebagai ladang ibadah terutama selama bulan ramadan ini," ujarnya.
Meski sukarela masih ada selentingan dari orang yang menyebut kalau mengajar di tempatnya harus bayar mahal.
Padahal belajar mengaji di tempatnya tak dipungut biaya apapun.
Biasanya yang berkomentar seperti itu lantaran belum kenal lebih dekat dengannya.
"Datang rutin saja sudah bayaran bagi saya sebab ada kepuasan tersendiri selama mengajar ngaji," terangnya.
Dia mengaku, memang ada orangtua yang memberikan uang kepadanya sebagai ungkapan terima kasih lantaran anaknya diajari mengaji.
"Kalau ada yang memberi uang biasanya buat subsidi silang dengan cara saya belikan air minum dan makanan yang nantinya disuguhkan saat acara tahlilan atau yasinan," terangnya.
Dia mengungkapkan, selama mengajari mengaji ke para tetangganya tak ada stigma negatif.
Sebaliknya para tetangganya sudah sangat percaya kepadanya.
Begitupun para pemuka agama di tempatnya tinggal tak ada gesekan apapun.
Kondisi lingkungan tanpa protes itu,menurutnya lantaran dia adalah warga pribumi di tempat tinggalnya.
Para warga sudah sangat kenal kepadanya.
Apalagi dia dari kecil hingga remaja sudah aktif di kegiatan keagamaan di lingkungannya seperti di remaja Masjid.
"Sampai sekarang saya masih ke Masjid dari salat Jumat dan tarawih," bebernya.
Kini, baginya, mengajar mengaji adalah sebuah kebahagian tersendiri.
Terutama melihat para muridnya yang antusias mengaji.
Bahkan dia merasa sedih saat beberapa kali aktivitas mengaji harus tertunda karena dia ada pekerjaan merias.
"Sewaktu harus tertunda itu saya merasa berat dan berusaha mengganti waktu mengaji pada malam hari kadang lelah pun tak terasa," paparnya.
(Iwn)
TONTON JUGA DAN SUBSCRIBE :