Tadarus
TADARUS KH Mahlail Syakur Sf: Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
Puasa adalah terjemahan dari bahasa Arab shawm dan shiyam. Keduanya berarti menahan diri atau menjaga diri
Ditulis oleh KH Mahlail Suakur Sf, Ketua LTN PWNU Jawa Tengah
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Puasa adalah terjemahan dari bahasa Arab shawm dan shiyam. Keduanya berarti menahan diri atau menjaga diri (imsak) yakni menahan diri dari makan, minum, perkataan yang kotor, dan perilaku yang jelek..
Puasa di bulan Ramadan merupakan salah satu ibadah formal (mahdlah) sebagaimana shalat, zakat, dan haji. Oleh karena itu puasa memiliki seperangkat ketentuan yang harus diketahui, seperti syarat wajib dan syahnya, ketentuan pokok (fara`idl as-shawum), kesunnahannya, dan hal-hal yang dapat membatalkannya. Semuanya harus diketahui sebagai ilmu tentang puasa agar pelaksanaan ibadahnya menjadi sempurna dan syah.
Ada sembilan hal yang harus dihindari karena dapat membatalkan puasa. Yaitu:
Benda yang dimasukkan secara sengaja ke dalam rongga tubuh (jawf), baik melalui jalan terbuka (munfatih) maupun tidak (ghair munfatih); benda cair maupun pada yang masuk perut, ke dalam telinga, atau ke otak melalui kepala yang terluka dalam dapat membatalkan puasa;
Injeksi (hiqnah) melalui salah satu dari dua jalan pembuangan (qubul (alat vital) dan dubur (anus)); memasukkan obat dengan jari atau alat kesehatan ke qubul atau dubur yang melampui batas yang dibasuh saat istinja` dapat membatalkan puasa, tetapi jika sebatas pada lobang yang masih wajib dibasuh saat istinja` maka tidak membatalkan puasa. Apabila ada lalat atau air terlanjur masuk ke perut tanpa disengaja karena berkumur menjelang wudlu` maka puasanya tidak batal kecuali berkumur yang dipaksakan agar ada air yang masuk ke perut;
Muntah dengan sengaja. Apabila muntah keluar tanpa bisa ditahan karena sakit atau lainnya maka puasanya tidak batal;
Memasukkan alat vital ke lobang (farj) meskipun ke dubur dan meskipun tidak keluar mani; menurut Imam al-Ghazali, jima’ di waktu malam Ramadlan atau mimpi keluar mani lalu terlanjur masuk shubuh masih dalam keadaan junub maka puasanya tidak batal, atau di saat menjelang pagi sedang bersetubuh lalu melepaskannya seketika di saat masuk imsak maka puasanya tetap syah.
Ejakulasi (inzal al-maniy) karena bersentuhan kulit tanpa jima’; demikian pula ejakulasi melalui sentuhan tangannya sendiri (onani) maupun melalui sentuhan tangan isterinya dapat membatalkan puasa. Adapun keluar mani (ejakulasi) melalui mimpi maka tidak membatalkan puasa. Demikian pula mencium isteri/suami atau tiduran bersama tidak membatalkan puasa, tetapi makruh;
Haidl; kecuali istihadlah;Nifas;Gila; hilang akalnya karena gila atau karena sakit lainnya seperti epilasi;Murtad; yakni keluar dari Islam karena keraguannya atas kewajiban puasa atau karena hilang keimanannya yang disengaja walau hanya sekilas. (Tawsyih karya Imam Nawawi bin ‘Umar al-Jawi, h. 111-112).
Puasa juga bisa batal karena perilaku yang buruk atau ucapan yang mengandung kebencian. Berdasarkan riwayat yang bersumber dari Sayyiduna Abu Hurairah ra., Rasul Allâh saw. bersabda:
(Rawatlah puasamu, karena puasa itu bukan (sekadar menahan dari) makan dan minum, akan tetapi puasa itu (menahan diri) dari berbagai maksiat. Sehingga apabila di antara kalian ada yang berpuasa lalu ada orang berbuat jahil kepadamu atau berkata kotor (mencaci atau lainnya) kepadamu, hendaklah katakan: “Aku sedang berpuasa”). Hadits diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.
Selain sembilan hal-hal yang dapat membatalkan puasa menurut para ahli fiqh di atas, ada pula hal-hal yang membatalkan puasa secara moral, dusta (kadzib), menggunjing (ghibah), adu-domba (namimah), bersumpah palsu (al-yamin al-kadzibah), dan memandang (lain jenis) dengan nafsu birahi. Demikian menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya` Juz I, halaman 235 dengan menyitir hadits Anas ra., bahwa Rasul Allâh saw. bersabda:
"Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa, yaitu berdusta, menggunjing, adu-domba, bersumpah palsu, dan memandang (lain jenis) dengan nafsu birahi).
Menurut Imam al-Ghazali, puasa itu merupakan separuh dari kesabaran, dan kesabaran itu separuh dari iman. Oleh karena itu orang yang sedang berpuasa tidak diperkenankan mengumbar emosi dan amarah yang merugikan orang/ pihak lain. Sebagaimana pesan dalam hadits di atas, orang yang sedang berpuasa bahkan harus mampu menahan diri jika mendapat tekanan, cacian, maupun ancaman, hendaklah tidak mudah terpancing emosi.
Lebih baik menyatakan “saya sedang berpuasa” atau sekadar diam. Sementara itu kebencian dan perilaku yang merugikan orang lain adalah bertentangan dengan salah satu indikator orang bertaqwa, yaitu menahan emosi dan amarah (al-kadhimin al-ghaydh). Nabi saw. telah mensinyalir realitas sosial keagamaan bahwa tidak sedikit orang yang berpuasa tetapi keabsahan puasanya terancam:
(Tidak sedikit orang berpuasa yang tidak dapat memperoleh (sesuatu) dari puasanya kecuali lapar dan dahaga).
Oleh karena itu, marilah kita berpuasa dengan mengikuti ketentuan yang telah diformulasikan dalam kitab fiqh dan mengindahkan ketentuan moral-sosial yang telah diajarkan kitab-kitab tashawuf. Semoga puasa kita diterima oleh Allâh dan mempu meningkatkan ketqwaan kita.Semoga materi ini bermanfa’at bagi kita. Wa- Allah a’lam bis-shawab (*)