Opini

OPINI Nugroho Trisnu Brata: Semangat Kartini di Daerah Perbatasan

Meski begitu, masih banyak orang-orang yang mewarisi semangat Kartini dalam melawan kebodohan

Editor: iswidodo
tribunjateng/ist
DR Nugroho Trisnu Brata | Dosen Sosiologi-Antropologi FIS Unnes 

Ditulis oleh DR Nugroho Trisnu Brata | Dosen Sosiologi-Antropologi FIS Unnes

TRIBUNJATENG.COM - Tanggal 21 April biasa diperingati sebagai hari lahir Raden Ajeng Kartini--anak Bupati Jepara pada masa kolonial Hindia Belanda. Namun semangat RA Kartini yang berusaha melepas belenggu kebodohan struktural dan kultural yang berakibat kemiskinan pada rakyat terutama pada anak perempuan, selama ini mengalami distorsi atau penyimpangan makna.

Siswa dan guru dari TK, SD, SMP, SMA, hingga civitas perguruan tinggi terjebak pada ritual tradisi memakai baju tradisional rakyat Indonesia ke sekolah/kampus dalam memperingati hari Kartini. Mereka lupa bahwa driving force (daya penggerak) yang menuntun RA Kartini adalah semangat memerangi kebodohan.

Meski begitu, masih banyak orang-orang yang mewarisi semangat Kartini dalam melawan kebodohan, antara lain ditunjukkan dua wanita di daerah perbatasan Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara dengan Sabah Malaysia.

Di Pulau Sebatik

Perempuan bernama Suraidah di Desa Sungai Limau, Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan. Di Desa Sungai Limau ini dulu banyak anak yang tidak terurus ketika kedua orang tuanya bekerja, umumnya bekerja di kebun sawit dan kebun coklat. Anak-anak ini tidak mendapat pendidikan semestinya di usia wajib belajar seperti anak-anak di daerah lain di Indonesia.

Menyikapi kondisi anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian orang tua dan hak anak terhadap pendidikan kemudian di desa ini berdiri sebuah sekolah swasta yang dipelopori oleh seorang bidan bernama Hajah Suraidah. Sekolah di tapal batas ini bisa disebut sebagai ironi pendidikan, sebab bangunan sekolah ini dibangun secara sederhana ada yang terbuat dari kayu--dan ada juga yang terbuat dari tembok semen karena bantuan BUMN dan lembaga filantropi domestik.

Komplek bangunan sederhana ini selain menampung anak-anak warga sekitar sekolah juga menampung anak-anak TKI yang ikut orang tua mereka di wilayah Malaysia. “Sekolah tapal batas” ini nama resminya adalah Madrasah Ibtidaiyah Darul Furqon, diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Ar-Rasyid lembaga swasta yang alamatnya ada di Kota Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Jadi sekolah di tapal batas ini (MI Darul Furqon) berada di bawah wewenang Kementerian Agama, bukan di bawah wewenang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Sekolah tapal batas” ini menampung puluhan anak-anak usia sekolah yang umumnya dari Kampung Begosong di wilayah Sebatik Malaysia. Mereka ikut orang tuanya yang bekerja di kebun sawit atau kebun coklat di Malaysia dan bermukim di Kampung Begosong. Mereka tidak mendapat hak atas pendidikan di Malaysia karena mereka bukan warga Negara Malaysia. Dari Begosong anak-anak ini berjalan kaki menyusuri jalan tanah sekitar 3 jam kemudian menyeberang perbatasan Indonesia-Malaysia secara ilegal.

Hatinya miris menyaksikan anak-anak di perkebunan sawit itu, lebih memprihatinkan dari yang sebelumnya ia dengar. Selain anak-anak yang tidak bersekolah, banyak juga anak-anak yang berhenti sekolah di Indonesia kemudian membantu pekerjaan orang tuanya sebagai buruh sawit.

Karena tidak sekolah maka ditemukan juga kasus pernikahan anak di bawah umur. Menikahkan anak yang tidak bersekolah adalah salah satu cara melepas beban orang tua terhadap anak-anaknya. Karena layanan kesehatan dan pendidikan minim maka pengetahuan reproduksi juga minim sehingga kesehatan dan kelahiran tidak terkontrol dengan baik.

Semangat Kartini di Sei Menggaris

Rusmini Hakim di Kecamatan Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan. Di Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik pada tahun 2003 pernah terjadi tragedi kemanusiaan besar ketika para pekerja gelap asal Indonesia (TKI ilegal) yang bekerja di Malaysia dideportasi kembali ke Indonesia lewat pintu masuk pelabuhan di Nunukan.

Mereka dideportasi oleh pemerintah Kerajaan Malaysia karena datang bekerja ke Malaysia tidak dilengkapi dengan surat-surat resmi untuk bekerja, atau surat-surat resmi yang dimiliki telah kedaluwarsa/ expired setelah mereka dalam waktu lama bekerja di Malaysia dan tidak kembali ke Indonesia. Banyak mantan TKI yang dideportasi kemudian menjadi peserta transmigrasi yang ditempatkan di area kerja perusahaan-perusahaan kehutanan dan kelapa sawit, yang sekarang bernama Kecamatan Sei Menggaris dengan empat desa di dalamnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved