Berita Semarang
LBH APIK Prihatin Praktik Perkawinan Anak di Semarang: Mayoritas Aduan Diselesaikan dengan Menikah
Sinetron itu menampilkan adegan tak pantas diperankan oleh perempuan berusia 15 tahun, yakni tokoh Zahra yang diperankan Lea Ciarachel.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: M Syofri Kurniawan
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Isu pernikahan anak menyeruak akhir-akhir ini.
Isu tersebut marak diperbincangkan setelah tayangan sinetron Suara Hati Istri di layar kaca Indosiar dikecam banyak pihak.
Sinetron itu menampilkan adegan tak pantas diperankan oleh perempuan berusia 15 tahun, yakni tokoh Zahra yang diperankan Lea Ciarachel.
Baca juga: Pingsan saat Hendak ke Toilet, Aan Meninggal Dunia, Tasnya Ternyata Berisi Obat-obatan
Baca juga: Bocah Kelas 6 SD Berkaos Kene Sing Polah, Tonggo Sing Ceramah Ditangkap karena Mencuri Motor
Baca juga: Kenapa Polri Ogah Ikut Campur Urusan Ketua KPK Firli Bahuri? Ini Alasan Kabareskrim
Baca juga: VIDEO Gadis Dianiaya dan Dirudapaksa Aktor TikTok Viral, Pelaku Ditembak Kakinya karena Melawan
Kejadian tersebut menjadi pembelajaran bagi semua pihak terutama Kota Semarang yang masih marak perkawinan anak.
Kota lumpia menduduki peringkat 15 dari 35 Kabupaten/Kota dengan pernikahan anak tertinggi di Jateng.
Menyoroti hal itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko mengatakan, perkawinan anak termasuk kekerasan terhadap anak dan sangat berpotensi terjadi kekerasan terhadap perempuan.
Pihaknya mencatat tahun 2020 menerima pengaduan mengenai kasus perkawinan anak sebanyak 55 kasus.
Mayoritas aduan kasus karena perempuan mengalami kekerasan seksual dari pelaku sehingga disarankan untuk penyelesaian permasalahannya dengan cara menikah.
"Kami sangat menolak penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan menikahkan pelaku dengan korban.
Jika itu dilakukan sama artinya mendorong korban masuk lebih dalam ke lingkaran kekerasan pelaku," ujarnya kepada Tribunjateng.com, Sabtu (5/6/2021).
Menurutnya, pernikahan seperti itu tidak melindungi hak korban namun lebih melindungi pelaku.
Bahkan pelaku rentan akan melakukan pengulangan kekerasan tidak hanya dengan korban namun dapat melakukan dengan anak-anak yang lain.
Sehingga pihak-pihak yang melakukan dan memberikan saran pada kasus kekerasan seksual terhadap anak untuk menikahkan dengan pelaku juga termasuk pelaku kekerasan.
"Penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, dengan tetap melakukan dan/atau memberikan saran menikahkan pelaku dengan korban termasuk melanggengkan kekerasan seksual terhadap anak," ucapnya.
LBH APIK Semarang, kata dia, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan akan mendorong negara lebih responsif.