Sri Mulyani Pastikan PPN Bahan Pokok Hanya untuk Produk Premium
Kementerian Keuangan memastikan tidak akan memungut PPN bahan pokok untuk masyarakat kelas bawah di dalam RUU KUP.
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Kementerian Keuangan memastikan tidak akan memungut PPN bahan pokok untuk masyarakat kelas bawah di dalam RUU KUP.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, komoditas bahan pokok yang akan kena pajak adalah produk premium atau kelas atas, di antaranya beras jenis shirataki.
"Kalau kita ngomongin sembako tuh katakanlah beras, ada beras yang Rp 10.000/kg-nya, yang diproduksi petani kita, Rojolele, Pandan Wangi, Cianjur gitu versus beras yang sekarang ini shirataki (impor-Red). Jadi, kalau dilihat harganya Rp 10 ribu/kg, sampai Rp 50 ribu/kg, sampai Rp 200 ribu/kg bisa sama-sama klaim ini sembako," ujarnya, di rapat Komisi XI DPR, Senin (14/6).
Sri Mulyani menjelaskan, fenomena munculnya produk-produk kelas atas, tapi namanya tetap sembako dan sama-sama beras harus disikapi pemerintah dari sisi perpajakan.
Selain itu juga ada beberapa jenis daging premium dengan harga mahal akan kena pajak, bukan justru yang ada di pasar tradisional.
"Sama-sama daging sapi namanya, tapi ada daging sapi wagyu yang kobe, per kg bisa Rp 3 juta atau Rp 5 juta. Ada daging biasa yang dikonsumsi masyarakat Rp 90 ribu/kg, ini bumi dan langit," katanya.
Dengan kondisi itu, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyatakan, instrumen perpajakan dalam RUU KUP mencoba dorong kesetaraan. "Pajak itu mencoba mendorong isu keadilan. Sekarang, diversifikasi masyarakat kita sangat beragam," jelasnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Neilmaldrin Noor menjelaskan, latar belakang munculnya rencana memperluas objek pajak terhadap bahan pokok antara lain karena telah terjadinya distorsi ekonomi.
Hal itu menyusul adanya tax incidence, sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor. Apalagi, pemungutan pajak selama ini dinilai tidak efisien, pemberian fasilitas memerlukan SKB dan SKTD yang menimbulkan cost administrasi.
“Perubahan ketentuan di dalam PPN ini, kami mempertimbangkan untuk melakukan perluasan basis pengenaan PPN dan menciptakan sistem pemungutan PPN yang lebih efisien, ya tadi ada administrasinya, dengan pengecualian-pengecualian,” katanya, dalam konferensi pers, Senin (14/6).
Selain itu, Neilmaldrin menuturkan, pemerintah menilai selama ini pengecualian PPN yang berlaku tidak mencerminkan rasa keadilan atas objek pajak yang sama dikonsumsi oleh golongan penghasilan yang berbeda. Sebab sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN.
Sehingga, perluasan objek PPN pada dasarnya harus mempertimbangkan prinsip ability to pay atau kemampuan membayar pajak para wajib pajak atas barang/jasa yang dikonsumsi.
“Maka harus ada pembeda antara kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum, dengan kebutuhan pokok yang tergolong premium. Karena penghasilan yang mengonsumsinya berbeda-beda. Jadi untuk keadilan,” ujarnya.
Kendati demikian, Neil belum dapat merinci sembako primer jenis apa saja yang akan masuk dalam daftar pengenaan PPN. Namun dia mencontohkan untuk daging wagyu yang dijual eksklusif di pasar modern akan dikenakan PPN. Sementara itu, untuk daging sapi yang dijual di pasar tradisional akan tetap bebas PPN.
Ia pun menegaskan, wacana perluasan objek PPN tidak akan mencederai ekonomi masyarakat kelas menengah-bawah. (Tribunnews/Yanuar Riezqi Yovanda/Kontan/Yusuf Imam Santoso)