Forum Guru
Forum Guru : Sekolah Riset dan Sekolah Berbasis Riset
BANYAK kampus yang berlomba-lomba menjadi universitas riset (research university). Di jenjang pendidikan di bawahnya yaitu SMP SMA/SMK/MA
Oleh Arie Hendrawan
Guru di SMA Islam Al Azhar 14 Semarang
BANYAK kampus yang berlomba-lomba menjadi universitas riset (research university). Di jenjang pendidikan di bawahnya yaitu SMP SMA/SMK/MA juga ada istilah Sekolah Riset (SR) dan Sekolah Berbasis Riset (SBR). Sayang, dua istilah tersebut kurang mendapatkan perhatian, sehingga tidak populer di mata publik.
SR adalah konsep pengembangan sekolah yang mendorong penyelenggaraan riset oleh peserta didik. Pada konteks ini, peserta didik yang berperan sebagai motor utama dapat mengangkat penelitian dengan tema-tema terkait materi pelajaran di sekolah. Seperti contoh, sains dan teknologi, fisika terapan dan rakayasa, serta sosial humaniora.
Sementara itu, terminologi SBR merujuk pada konsep pengembangan sekolah yang mendorong para guru dan pejabat sekolah untuk mengambil kebijakan-kebijakan di sekolah berdasarkan penelitian. Topik-topik yang diangkat di sini, misalnya terkait dengan kualitas pembelajaran, pengembangan kurikulum, dan motivasi belajar.
Menurut Hidayati (2019), SBR pertama kali diinisiasi oleh pemikir pendidikan, John Dewey, dengan nama University of Chicago Laboratory Schools (UCLS). UCLS menjadi rintisan sekolah yang berdasarkan riset untuk menguji ide-ide dan hipotesis John Dewey. Dalam kegiatan riset di sekolah tersebut, guru-guru sangat dilibatkan.
Namun demikian, bukan berarti SR dan SBR tidak dapat berjalan dengan beriringan. Keduanya tetap bisa dilaksanakan secara harmonis karena memiliki spirit yang sama, yakni membangun ekosistem dan kultur riset di sekolah. Terlebih lagi, baik itu siswa maupun guru sebagai penggerak, adalah sama-sama unsur mutlak dalam sekolah.
Melalui implementasi SR, peserta didik akan berlatih untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang dihadapinya di kehidupan sehari-hari dengan pengetahuan yang dipelajarinya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, luaran riset mereka juga dapat memberikan sumbangan atau kontribusi praktis bagi masyarakat luas.
Selanjutnya, melalui penerapan SBR, sekolah akan mampu mengambil kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Setiap kebijakan yang dieksekusi bukan hanya berasal dari opini dan pengalaman (experience and opinion-based policy), melainkan berbasis bukti dan data yang kuat (evidence-based policy) yang diperoleh dengan riset.
Sampai di titik ini, kita dapat menyimpulkan, bahwa hubungan antara SR dengan SBR bersifat saling melengkapi (komplementer). Sekolah dengan paradigma berbasis riset akan menjadi medium dalam membantu meningkatkan karakter saintifik guru dan peserta didik menuju visi sekolah yang berekosistem serta berbudaya riset.
Pendekatan
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan gagasan SR dan SBR, ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, terkait dengan siswa. Dari segi kurikuler, sekolah perlu menyuntikkan muatan riset ke dalam setiap materi pelajaran. Sedangkan dari aspek kokurikuler, sekolah dapat mengadakan workshop penelitian bagi peserta didik.
Di samping itu, untuk kegiatan ekstrakurikuler, sekolah harus mendorong eksistensi berbagai komunitas riset siswa di sekolah, seperti Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) dan Sains Club (SC).
Tidak ketinggalan, bagi seluruh peserta didik secara umum, sekolah bisa mengadakan kegiatan wajib dalam bentuk travelling research yang dikolaborasikan dengan program ekskursi (karya wisata). Luaran dari kegiatan tersebut adalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang dibimbing oleh guru dan diujikan sebagai salah satu syarat kenaikan kelas. Seluruh hasil karya peserta didik, selanjutnya dapat dipamerkan dalam acara festival riset sekolah.
Kedua, terkait dengan guru. Para guru di sekolah harus mendapatkan pelatihan riset yang komprehensif untuk meningkatkan proses pembelajaran berbasis penelitian dan menghasilkan data kredibel bagi pengambilan kebijakan sekolah. Misalnya, guru bisa dibekali pelatihan mengenai Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan best practice.