Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

OPINI Ummi Nu’amah : Memperkuat Konstruksi Perempuan Penyelenggara Pemilu 2024

PEMBAHASAN Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021 antara Pemerintah dan DPR bersepakat menarik RUU tentang Pemilu dan Pilkada dari Prolegn

Net
Ilustrasi Pilkada 

Oleh Ummi Nu’amah
Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kabupaten Semarang

PEMBAHASAN Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021 antara Pemerintah dan DPR bersepakat menarik RUU tentang Pemilu dan Pilkada dari Prolegnas 2021.

Artinya bahwa pelaksanaan Pemilu tetap berdasarkan UU 7 tahun 2017 dan Pilkada berlandaskan UU 1 tahun 2015 beserta perubahannya. Berdasarkan penyampaian KPU dalam RDP dengan DPR, Penyelenggara Pemilu, bahwa pelaksanaan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden direncanakan bulan Februari 2024, sedangkan Pemilihan Kepala Daerah direncanakan bulan November 2024.

Berkaca pada Pemilu 2019 yang menimbulkan banyak korban jiwa dari penyelenggara pemilu, maka rumitnya Pemilu dan Pilkada di 2024 perlu diantisipasi sejak dini. KPU perlu membuat skenario yang dapat dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara pemilu sampai tingkatan paling bawah yaitu KPPS, dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana skenario pelaksanaan pemilu dan Pilkada 2024 tidak menimbulkan korban jiwa lagi seperti pada Pemilu 2019 yang lalu.

Tantangan yang begitu berat di Pemilu dan Pilkada 2024, maka perlu persiapan yang sangat matang sebelum tahapan penyelenggaran ini dimulai. Ada beberapa tantangan dalam penyelenggaran Pemilu dan Pilkada 2024, tidak terkecuali juga bagi perempuan penyelenggara 

Beban kerja

Pemilu. Menurut Bagja Anggota Bawaslu RI, tantangan tersebut antara lain Pertama, tata kelola pemilu, kedua beban kerja penyelenggara yang tidak proposional,

Ketiga adanya potensi kemoloran mundurnya penghitungan suara, keempat beban pengisian administrasi, tantangan keempat yakni sistem informasi rekapitulasi yang belum stabil, kelima rentang waktu pelaksanaan pemilu dan pemilihan serentak menjadi lebih pendek,

namun persiapan penyelenggaraan membutuhkan waktu yang cukup panjang, Keenam, aspek teknis penyelenggaraan menjadi lebih rumit, ketujuh keterbatasan SDM dan sarana penunjang, dan kedelapan sosialisasi kepada pemilih mengenai teknis pencoblosan surat suara harus lebih massif.

Berbicara tentang penyelenggara Pemilu, di UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang keterwakilan perempuan minimal 30% dari penyelenggara pemilu, penyumbang tertinggi dari keterwakilan perempuan pengawas pemilu berasal dari Pengawas TPS.

Keterwakilan Perempuan dalam Penyelenggara Pemilu pertama sejak berlaku UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengatur keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu, hanya pada Pemilu 2009 tercapai keterwakilan perempuan 30% di KPU dan Bawaslu.

Keterwakilan 30%

Untuk mewujudkan ketercapaian affirmative action, maka dimulai dari penyelenggara pemilu, harus ada kesepakatan dan ketaatan KPU, Bawaslu, Tim Seleksi, DPR dan Pemerintah terhadap ketentuan keterwakilan minimal 30% perempuan dalam keanggotaan KPU dan Bawaslu di tingkat Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Untuk memperkuat perempuan penyelenggara pemilu maka perlu merawat profesionalisme dan integritas dengan memahami esensi keberadaan lembaga pengawas pemilu.

Perempuan penyelenggara pemilu harus memahami, menghargai dan memaknai sejarah perjuangan hak-hak perempuan, terutama keterwakilan perempuan dalam politik & pemilu (sejarah hak pilih perempuan, sejarah affirmatif action untuk keterwakilan perempuan, quota keterwakilan) dan menyadari diri sebagai duta keterwakilan perempuan dalam politik. Selanjutnya perempuan penyelenggara pemilu harus menyadari diri sebagai duta sosial politik di bidang pemilu dari komunitasnya asal serta menjadikan UU Pemilu & UU Pilkada sebagai “buku pegangan” penting.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved