Berita Jakarta
Benarkah Negara dan Pengusaha Diuntungkan, Bila Transaksi Indonesia-China bakal Gunakan Yuan?
Perry Warjiyo mengatakan, selangkah lagi transaksi bilateral Indonesia dan China tak akan menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat (AS
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan, selangkah lagi transaksi bilateral Indonesia dan China tak akan menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat (AS). Hal itu diungkapkan saat ditanya mengenai perkembangan kerja sama Local Currency Settlement (LCS) atau penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dengan China.
Menurut dia, persyaratan dan teknis terkait dengan LCS sudah selesai. Bahkan, saat ini BI juga telah melakukan sosialisasi dengan kementerian dan pelaku dunia usaha.
“Kami sampaikan kabar gembira, seluruh persyaratan maupun teknis operasional Local Currency Settlement antara Tiongkok dan Indonesia sudah selesai,” katanya, Jumat (23/7).
“Bahkan mekanisme operasional dan penunjukkan bank-bank juga sudah selesai. Kami juga sudah lakukan sosialisasi Local Currency Settlement (LCS) dengan kementerian lembaga dan dunia usaha,” sambungnya.
Sebelumnya, BI tengah dalam upaya melakukan kerja sama LCS atau penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dengan China.
Awalnya BI menargetkan, pelaksanaan kerja sama itu akan terjadi pada Juli 2021.
LCS merupakan kerja sama Indonesia dengan beberapa bank sentral negara lain, termasuk China. Artinya, transaksi bilateral antara Indonesia dan China akan menggunakan mata uang Rupiah dan Yuan, dan tidak lagi menggunakan dollar AS.
Tujuan kerja sama itu untuk mendorong penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung.
Kerja sama itu juga bertujuan untuk meningkatkan penggunaan mata uang lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS.
Sebagai tambahan informasi, LCS adalah penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara.
Di mana settlement transaksinya dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing. Saat ini, BI telah bekerjasama dengan tiga negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan Jepang.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, ada sisi keuntungan bagi negara, yakni dapat memperkuat rupiah saat berlakunya transaksi perdagangan kedua negara pakai yuan, tidak lagi dollar AS.
"Bagi negara keuntungannya lebih ke membantu stabilitas kurs rupiah jangka panjang," paparnya.
Menurut dia, dampak gejolak perekonomian di negeri Paman Sam juga bisa diminimalisir risikonya ke Indonesia dengan tidak lagi bergantung terhadap dollar AS.
"Shock yang terjadi di AS misalnya bisa dimitigasi risikonya ke pasar keuangan Indonesia jika penggunaan dollar porsinya makin menyusut," jelasnya.
Sementara, terkait dengan kemungkinan adanya negara yang menjauhi Indonesia dari sisi kerja sama perdagangan karena mengurangi porsi dollar AS dinilai tidak beralasan.
"Tidak akan kabur, ya karena mereka akan lihat potensi perdagangan yang cukup besar dengan Indonesia, apalagi indonesia produsen komoditas yang dibutuhkan mitra dagang lain. Saya kira itu kekhawatiran tak berdasar," ucapnya.
Terus berkembang
Bhima mengungkapkan, nilai total perdagangan Indonesia dengan China tembus 71,4 miliar dollar AS di 2020, dan terus berkembang hingga porsi ekspor menjadi 22 persen per Juni 2021.
"Karena ukurannya sangat besar, maka dampak penggunaan yuan untuk ekspor bisa menurunkan volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS," terangnya.
Apalagi, Bhima menjelaskan, pemakaian yuan ke depan bakal membuat Indonesia lebih bersiap hadapi tapering off atau perubahan stimulus moneter AS.
Selain itu, pelaku usaha juga mendapatkan keuntungan dengan penggunaan yuan untuk transaksi perdagangan dari sisi penghematan keuangan.
"Bayangkan juga nanti biaya dan risiko konversi dari yuan ke dollar AS, kemudian ke rupiah akan berkurang. Tidak perlu lagi dobel-dobel konversi, ini akan menguntungkan pengusaha, karena biaya keuangan akan berkurang," jelasnya.
Pengusaha juga menyambut baik rencana transaksi perdagangan Indonesia-China menggunakan mata uang lokal masing-masing negara, tanpa lagi menggunakan dollar AS.
"Saya pikir harus dipercepat, karena kita banyak belanja ke China. Kalau kita konversi dari rupiah ke dollar AS dan kemudian baru ke yuan, maka itu beda kurs, sama rugi valuta asingnya," tutur Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Achmad Widjaja.
Menurut dia, pengusaha akan diuntungkan dengan penggunaan mata uang lokal masing-masing negara, apalagi dunia perdagangan saat ini tidak ditentukan hanya boleh memakai dollar AS.
"Ini praktik yang normal, sehingga kalau Indonesia sudah merupakan negara maju, kita harus masuk ke dalam multi valuta asing. Kita harus mengimplementasi seluruh valuta asing yang bernilai tambah kepada importir atau pelaku eksportir," bebernya.
Ia menyebut, penerapan transaksi perdagangan Indonesia-China memakai mata uang lokal tidak berdampak terhadap negara, tetapi lebih kepada pelaku usahanya.
"Tidak ada dampak ke negara, ini kan hanya perputaran rupiahnya, bukan asingnya. Perputaran rupiah terhadap valuta asing, tapi bagi pengusaha tidak bolak balik transaksi valuta asing, jadi rupiah ke yuan, tidak ke dollar AS lagi," tukasnya. (Tribun Network/sen/van/wly)
Baca juga: Kunci Jawaban Tema 9 Kelas 5 Halaman 35 37 38 39 40 42 Subtema 1 Identifikasi Tangga Nada
Baca juga: Hotline Semarang : Setelah Sembuh dari Covid-19 Kapan Kami Boleh Vaksinasi
Baca juga: Anaknya Disebut ICW Terlibat Bisnis Obat Ivermectin, Moeldoko Akan Lakukan Langkah Hukum
Baca juga: Kisah Video Viral Pramugari Lion Air Digerebek Istri Sah yang Sedang Hamil