Berita Regional
Kisah Parjan Kulonprogo, Meski Mata Buta Tetap Panjat Puluhan Pohon Setiap Hari Demi Sekolah Anak
Tidak banyak yang bisa dilakukan manusia jika kehilangan mata penglihatannya. Namun bagi Parjan Parjan (53), warga Pedukuhan Plampang.
“Hitam. Gelap. Tidak ada cahaya. Tidak bisa melihat sama sekali,” kata Parjan di rumahnya, Senin (16/8/2021).
Ia selalu memanjat cepat, kakinya memijak tegas pada tiap buku-buku di batang kelapa.
Sesampai di atas, Parjan bersandar pada pelepah dahan, mengambil bumbung bambu (wadah tampung nira) yang sudah penuh nira, ganti dengan bumbung yang baru yang masih kosong.
Parjan menderes dua kali dalam sehari, subuh ke pagi, dilanjutkan sore.
Tidak pernah libur. Sepanjang hari itu, Parjan mampu memanjat sampai 40 pohon, baik dari pohon di kebun miliknya dan di kebun milik tetangganya.
Parjan mengaku bekerja dengan keterbatasan memang penuh perjuangan.
Semangatnya dilatari harapan tidak menyerah demi penghidupan keluarga dan sekolah kedua anaknya, yakni Rizky Dwi Safitri (17) yang mondok di pesantren dan Riana Deni Safitri (15) di sekolah menengah Kokap.
Kebutuhannya besar, kata Parjan.
Parjan bisa mengumpulkan rata-rata 20 liter nira bahan baku gula, setiap hari.
Dapur rumah produksi bisa menghasilkan gula 3-5 kilogram per hari dengan harga Rp 15.000 per kilogram.
Saat panen besar, Parjan dan Kamsih bisa meraup Rp 1.500.000 dalam satu bulan.
Tapi, kata Parjan, semua habis untuk biaya sekolah anak.
“Uang jajan (karena di pondok), uang baju sekolah, uang kitab. Palingan sisa Rp 500.000 untuk makan dalam satu bulan."
"Bahkan, LKS untuk 9 mata pelajaran belum dibayar, meski Rp 60.000,” kata Parjan.
Itu belum termasuk kegiatan kemasyarakatan yang kerap mengeluarkan sumbangan, seperti hajatan, kegiatan gotong royong, lelayu, dan lainnya.