OPINI
OPINI Djoko Subinarto : Oligarki dan Tantangan Parpol Kita
DEMOKRASI kita saat ini bukan hanya telah membuka peluang bagi artikulasi politik yang ekstrim, tetapi juga bagi lahirnya oligarki yang dapat semakin
Djoko Subinarto
Kolumnis dan Bloger
“Sometimes it's better to have a benign dictator than a dumb democracy, to be honest.”
Serj Tankian
DEMOKRASI kita saat ini bukan hanya telah membuka peluang bagi artikulasi politik yang ekstrim, tetapi juga bagi lahirnya oligarki yang dapat semakin menjauhkan cita-cita mulia kita dalam mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) seperti yang diamanatkan konstitusi.
Kita semua tentu saja patut bersyukur bahwa benih-benih demokrasi yang telah kita semai terus tumbuh dan berkembang di negeri ini.
Kendatipun demikian, harus kita akui bahwa terus tumbuh dan berkembangnya benih demokrasi di Republik ini tampaknya masih belum membawa perubahan signifikan kepada kehidupan rakyat. Sebagian figur yang terpilih lewat pemilihan umum lebih cenderung menyuarakan, memikirkan dan memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok mereka ketimbang kepentingan rakyat luas yang mereka wakili.
Pada titik ini, demokrasi kita akhirnya baru mampu membawa kesejahteraan pada segelintir kelompok masyarakat (elite). Sejauh ini, demokrasi kita tampaknya hanya sebatas menjadi alat transaksi kepentingan jangka pendek dan bukan menjadi alat bagi proses menyejahterakan rakyat. Singkatnya, demokrasi yang kita jalankan selama ini masih merupakan demokrasi prosedural, dan bukan demokrasi substantif.
Kondisi seperti ini pada akhirnya menelurkan jurang ketimpangan sosial yang menganga antara mereka yang diberi amanah untuk berkuasa dengan mereka yang memberi amanah kekuasaan. Realitas yang demikian sangat kentara dalam kehidupan sehari-hari di negeri ini. Ketimpangan sosial menjadi fenomena yang tidak terbantahkan.
Tatkala praktik demokrasi hanya melahirkan kekuasaan dan kesejahteraan yang cuma dapat dinikmati oleh sekelompok elite, bisa jadi yang sejatinya dipraktikkan adalah bukan demokrasi lagi, melainkan oligarki. Istilah tersebut untuk merujuk kepada kekuasaan yang selalu berada di tangan segelintir elite. Roda kekuasaan berputar dari tangan satu gelintir kelompok elite ke kelompok elite lainnya secara bergiliran. Begitu seterusnya, bak arisan kelompok.
Agaknya, karena berpotensi melahirkan oligarki inilah, negarawan mashur Inggris, Sir Winston Leonard Spencer Churchill (1874-1965), sejak lama telah mengingatkan bahwa sesungguhnya demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling buruk. Hanya saja, karena bentuk-bentuk pemerintahan lainnya jauh lebih buruk, maka demokrasi terpaksa masih menjadi pilihan.
Tantangan Parpol
Oligarki dapat terus bertahan di negeri ini antara lain karena partai-partai politik kita sejauh ini lebih berfungsi sebagai kendaraan kaum elite dalam memburu rente dan kekuasaan. Akibatnya, ongkos politik menjadi mahal. Politik uang serta korupsi politik sukar dihindari. Kontestasi politik hanya dapat diikuti oleh mereka yang tebal duitnya.
Partai-partai politik yang diharapkan menjadi wahana bagi perjuangan ideologi yang militan dibonsai menjadi sekedar wahana bagi perjuangan-perjuangan jangka pendek yang sifatnya transaksional dan personal.
Maka, di tengah iklim politik yang berjalan seperti sekarang ini, para pengelola partai-partai politik kita sesungguhnya dihadapkan pada sekurangnya tiga tantangan berikut ini.
Tantangan pertama, mampukah mereka akhirnya membawa semangat dan perubahan baru bagi jagat kepartaian kita, sehingga menumbuhkan kepercayaan rakyat yang lebih besar terhadap keberadaan partai politik di negeri ini?
Tantangan kedua, mampukah mereka menjadi mesin penggerak terciptanya demokrasi substantif dan tata kelola pemerintahan yang baik serta terciptanya keadilan sosial dan keadilan ekonomi yang selama ini rakyat idam-idamkan namun belum kunjung mewujud?