OPINI
OPINI Tasroh : Membangun Kepatuhan LHKPN
Dalam catatan penulis setidaknya Ketua KPK, Firli Bahuri, sudah puluhan kali mengingatkan agar para penyelenggara Negara bergegas patuh
Oleh Tasroh
PNS/ASN di Pemkab Banyumas
Hiruk-pikuk Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ternyata hampir setiap tahun terjadi. Dalam catatan penulis setidaknya Ketua KPK, Firli Bahuri, sudah puluhan kali mengingatkan agar para penyelenggara Negara bergegas patuh melaporkan harta kekayaannya.
Namun seperti kebiasaan selama ini, himbauan, seruan hingga berbagai nadawarningitu akhirnya bubar sendiri. Bukan lantaran semua patuh dan tertib melaporkan harta kekayaannya sesuai ketentuan , para penyelenggara Negara seolah bebal untuk bersama-sama mengulur-ulur waktu pelaporan.
Dalam Peraturan KPK Nomor 07/2016 tentang Tata Cara Pelaporan Harta Kekayaan, Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan sudah amat jelas bagaimana mekanisme dan prosedur pelaporan harta kekayaan dimaksud. Namun diakui KPK bahwa tingkat kepatuhan para penyelenggara Negara yang amat rendah.
Bayangkan saja dari 575 anggota DPR RI hingga Agutus 2021 baru 336 penyelenggara Negara yang melaporkan harta kekayaannya. Seperti disebutkan ketua KPK, jumlah itu pun 95% masih keliru di beberapa data laporan (Kompas, 7/9/2021).
Catatan ICW (2021) lebih miris lagi. Ternyata tak hanya kepatuhan melaporkan harta kekayaan yang rendah dari kalangan legislatif. Dari kalangan eksekutif dan yudikatif serta TNI-Polri dan BUMN/BUMD, juga setali tiga uang.
Sebanyak 80% konon melaporkan ‘asal bapak senang’, lantaran biasanya tidak dikerjakan dibawah pengawasan para penyelenggara sendiri, tetapi dikerjakan oleh stafnya, hingga sopir dan pembantunya.
Di luar itu, para penyelenggara Negara juga belum paham benar apa makna LHKPN sehingga sering mengerjakan LHKPN ‘asal kirim’. Ketua KPK juga menyebutkan masih terdapat banyak ‘salah tafsir atas Peraturan KPK No.07/2016 tersebut yakni LHKPN yang terkesan ‘sporadis’ yakni hanya dilaporkan sebelum dan sesuadah para penyelenggara Negara menjabat. Padahal pasal 20 UU No.28/1999 tegas menyatakan LHKPN berlangsung 3 kali yakni laporan harta sebelum, selama dan setelah menjabat.
Pertanyaannya adalah mengapa tingkat kepatuhan, kedisiplinan dan kualitas pelaporan harta kekayaan para penyelenggara Negara demikian rendah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ternyata tidak semudah membuat martabak di pinggir jalanan. Menurut pegiat Anti Korupsi, Boy Saiman, (2021) rendahnya kepatuhan disebabkan setidaknya oleh 3 faktor penting.
Pertama, regulasi yang belum tuntas. Diakui, meskipun sudah ada UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta UU No.19/2019 tentang Perubahan Kedua UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kebijakan lainnya, diakui belum mampu ‘memaksa’ para penyelenggara Negara untuk patuh pada regulasinya itu sendiri.
Hal ini tercermin dari riset Transparansi Internasional Indonesia (2020), yang menyebutkan bahwa tingkat kepatuhan pada kebijakan/regulasi Negara justru ‘jeblok’ pada level dibawah skor 70 (skala 100) dari para penyelenggara Negara itu sendiri. Para pejabat public dan elite di instansi Negara/pemerintahan serta BUMN/D tersebut, tragisnya, menganggap sebagai hal lumrah jika belum melaporkan harta kekayaannya.
Di sisi yang lain, belum ada regulasi yang bisa memberikan efek jera apabila para penyelenggara Negara melalaikan kewajiban melaporkan harta kekayaannya. Pasal 20 UU No.28/199 hanya menyatakan bagi yang lalai tidak/belum melaporkan, para penyelengara Negara itu hanya mendapatkan sanksi administrative yang biasa di lapangan 100 persen tak ditindaklanjuti!
Kedua, ketidakjelasan ‘pemeriksaan’ atas laporan harta kekayaan. Tercatat dari sekitar 239 anggota DPR RI yang sudah melaporkan harta kekayaannya pun, mengaku ‘belum ada pemeriksanaan’.
Maksudnya adalah sudah hampir 1 tahun LHKPN dikirimkan ke KPK, faktanya, tak pernah benar-benar dicek detail. Karena anggapan demikian sudah demikian melekat, banyak dijumpai pendapat para penyelenggara yang menyatakan baru akan melaporkan jika sudah ditagih KPK.