Berita Jakarta
Kompolnas Minta Polisi Tak Reaktif atas Penyaluran Aspirasi, Ini Tanggapan Kapolri dan Jokowi
Kompolnas mendukung intruksi Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang meminta anggota dan jajarannya tidak bersikap reaktif
"Kapolri mengatakan itu bukan kebijakan kita, tapi Kapolres. Dari Kapolres juga menyatakan bukan kebijakan mereka, tapi di Polsek," terangnya.
Jokowi pun meminta agar jajaran Polri tidak berlebihan memberantas mural dan menindak segala bentuk kritikan dari masyarakat. “Saya minta agar jangan terlalu berlebihan. Wong saya baca kok isi posternya. Biasa saja. Lebih dari itu, saya sudah biasa dihina," katanya.
Jokowi pun menegaskan bahwa dirinya tidak antikritik seperti yang dituduhkan. "Saya tidak antikritik. Sudah biasa dihina. Saya ini dibilang macam-macam, dibilang PKI, antek asing, antek aseng, planga-plongo, lip service. Itu sudah makanan sehari-hari," ucapnya.
Adapun sebelumnya, Jokowi dianggap alergi terhadap kritik lantaran sikap reaktif terkait dengan unculnya sejulah mural dan protes. Sejumlah karya itu dihapus dan pembuatnya diburu.
Satu di antaranya, gambar wajah Presiden Jokowi yang disertai tulisan '404: Not Found' yang dituliskan menutupi mata gambar itu. Pembuatnya lantas dicari polisi.
Selain itu, sebuah mural di sudut jalan di Bangil, Kabupaten Pasuruan, mendadak dihapus jajaran pemkab. Penghapusan mural bertuliskan 'Dipaksa Sehat di Negara Yang Sakit' itupun sempat menjadi viral di media sosial.
Selain itu juga terjadi penghapusan mural bertuliskan 'DIPENJARA KARENA LAPAR' di Jalan Gatot Subroto, kolong Fly Over Taman Cibodas, arah menuju Jatiuwung, Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang.
Adapun, aksi Polri menangani kritik masyarakat terhadap pemerintah juga menjadi sorotan, terkait dengan penangkapan terhadap pelaku aksi membentangkan spanduk protes di tengah kunjungan Presiden.
Hal itu antara lain dialami Suroto, peternak yang membentangkan spanduk protes bertuliskan 'Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar' ke iring-iringan Presiden saat berkunjung ke Blitar, Jawa Timur, pada Selasa (7/9).
Selain itu, hal serupa juga dialami 10 mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo baru-baru ini yang membentangkan sejumlah spanduk di sela kunjungan Presiden di kampus itu pada Senin (13/9).
Baik Suroto maupun sejumlah mahasiswa UNS itu sempat diamankan kepolisian, tetapi kemudian berakhir dibebaskan. Bahkan, Jokowi mengundang Suroto ke Istana pada Rabu (15/9). Namun, hal serupa belum dialami 10 mahasiswa UNS.
Menanggapi hal itu, juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman tak bisa memberikan jawaban pasti terkait dengan apakah Jokowi nantinya akan mengundang 10 mahasiswa UNS datang ke Istana, layaknya Suroto.
Pengingat
Namun, ia berharap undangan ke Istana yang diberikan ke Suroto, juga didapatkan mahasiswa UNS. Menurutnya, undangan kepada Suroto adalah sebagai pengingat bagi pemerintah daerah (pemda) agar lebih peka kepada masyarakat. Sebab, beberapa dari poster kritik itu mencakup urusan wilayah pemda.
"Mudah-mudahan diundang ke Istana. Problemnya begini, 270 juta rakyat Indonesia ingin diundang ke Istana ingin bicara ke Jokowi. Ini yang jadi persoalan hari-hari sekarang. Kami juga ingin mengingatkan ada tindakan pemerintah daerah lebih pro-aktif. Karena ada beberapa masalah yang dimunculkan tak ada kaitannya dengan Presiden," paparnya, dikutip dari tayangan Satu Meja The Forum, Rabu (15/9).
Fadjroel menilai aksi-aksi membentangkan poster itu sebagai bentuk kepercayaan masyarakat kepada Jokowi sangat tinggi, di mana masyarakat ingin Jokowi menyelesaikan langsung masalah-masalah di bawahnya.
Untuk itu, menurut dia, aksi Suroto maupun mahasiswa UNS ini tidaklah suatu masalah. "Mereka ingin mengatakan, apapun masalah yang ada di bawah, pak Jokowi yang bisa menyelesaikannya. Suroto juga bilang begitu. Enggak ada yang masalah sebenarnya. Terima kasih atas kepercayaannya," ucap Fadjroel.