Berita Banjarnegara
Remaja Disabilitas Membuat Batik Ciprat Gumiwang
Sejumlah remaja ini kesulitan baca tulis maupun beritung meski sudah pernah sekolah. Mereka disabilitas intelektual.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA -- Sejumlah remaja ini kesulitan baca tulis maupun beritung meski sudah pernah sekolah. Mereka disabilitas intelektual.
Dipandu oleh Sri, mereka bisa membuat batik ciprat tak beraturan namun bernilai seni. Penasaran?
Kain Batik bermotif cantik terpajang di Shelter Workshop Peduli yang menyatu dengan rumah Sri Haryati, warga Desa Gumiwang, Kecamatan Purwanegara, Banjarnegara.
Motif batik itu beda dengan batik pada umumnya. Dipenuhi bintik-bintik dengan ukuran dan posisi tak beraturan. Orang menyebutnya batik Ciprat.
Sesuai namanya, batik ini dibuat dengan cara menciprat-cipratkan larutan malam pada lembaran kain. Menariknya, batik ini dibuat oleh disabilitas intelektual (sulit baca tulis dan berhitung) yang merupakan warga sekitar.
Tidak ada pola yang pasti dalam membuat batik ini. Mereka membuatnya dengan selera masing-masing. Tak ayal, setiap produk, hasilnya bisa berbeda. Tidak beraturan motifnya.
Pun sulit memahami kejelasan makna dari gambar abstrak tersebut. Tapi ini justru yang membuatnya unik. Di halaman rumah yang disulap jadi bengkel produksi, beberapa pemuda disabilitas terlihat bersemangat membuat batik ciprat.
Mereka antusias mewarnai kain yang telah diberi motif (ngeblok). Mereka lantas menjemurnya di bawah terik matahari. "Setiap produk hasil cipratannya berbeda, gak bisa sama," kata Sri Haryati, pengelola Shelter Workshop Peduli Desa Gumiwang, Senin (4/10).
Misro, Agus, dan Magfur di antaranya. Ketiganya punya latar belakang berbeda. Misro yatim piatu sejak belia. Ia diasuh oleh kakeknya. Sebelum mengikuti Shelter Workshop Peduli, kondisinya memprihatinkan. Kehidupannya murung, seperti tak punya masa depan. Ia pendiam dan minder saat bertemu orang.
Kondisi Agus kurang lebih sama. Sehari-hari, pemuda yang pernah bersekolah SD selama 12 tahun itu hanya menghabiskan waktu di rumah. Ia jarang keluar. Magfur pun demikian. Ia sempat sekolah dan menimba ilmu di pesantren, namun ia memutuskan tak melanjutkan pendidikannya.
Kehidupan baru
Tetapi di tempat ini mereka menemukan kehidupan baru. Kehidupan yang lebih ramah untuk orang dengan keterbatasan. Di sini, tidak ada yang melakukan perundungan atau diskriminasi kepada mereka.
Mereka pun terlihat bersemangat dan ceria. Mereka bahkan saling melempar canda kepada sesama disabilitas.
Ini adalah bagian dari misi pembentukan shelter ini. Menurut Sri, setelah bergabung dan punya kegiatan produktif, mereka kini lebih percaya diri menjalani kehidupan.
"Karena mereka bisa menghasilkan uang, dan bisa menunjukkan kepada orang tua bahwa mereka bisa bekerja mendapat uang. Itu membuat mereka percaya diri," katanya.