Berita Viral
Memilih Pergi dari Malaysia, Ini Pengakuan Nur Sajat: Saya Dipukul, Didorong, dan Diborgol
Dalam pandangan otoritas Malaysia, Nur Sajat adalah laki-laki, dan di bawah hukum Islam, seorang pria haram hukumnya berpakaian seperti perempuan
Kami bertanya kepada Mohammad Asri Zainul Abidin, seorang Mufti atau penasehat Islam senior di negara bagian Perlis, apakah mungkin Muslim Malaysia bisa menerima transgender?
"Bagi saya, Sajat adalah kasus khusus," katanya. "Sajat melakukan banyak hal yang memancing reaksi otoritas keagamaan. Normalnya, dalam Islam kami tidak mencampuri urusan pribadi. Itu masalah Anda dan Tuhan. Tapi kami tidak akan mengakui dosa ini. Jika Anda merasa seperti seorang perempuan, dan ingin masuk toilet perempuan, ya tidak boleh."
Malaysia punya sistem hukum ganda; dengan hukum Syariah Islam yang digunakan di 13 negara bagian, dan tiga wilayah federal negara itu, untuk mengatur masalah rumah tangga dan moral bagi 60 persen penduduk yang beragama Islam. Hal ini menciptakan persoalan yang berlanjut tehadap komunitas LGBTQI.
"Hukum Syariah secara khusus mengincar komunitas kami di setiap negara bagian," kata Nisha Ayub, seorang aktivis transgender yang pernah dipenjara karena menggunakan pakaian perempuan.
"Dan karena keberadaan Hukum Syariah, kami punya politisi, para tokoh, otoritas agama yang mengeluarkan pernyataan sangat negatif mengenai komunitas ini. Dan ini menciptakan ketidaknyamanan, lingkungan yang tidak memungkinkan bagi kami."
Bergerak ke arah 'Islamisasi'
Tapi dulunya, tidak seperti ini.
"Malaysia pernah sekali-kalinya sangat toleran dan menerima komunitas transgender," kata Rozana Isa, pendiri Sisters in Islam, sebuah kelompok yang memperjuangkan hak-hak permepuan di dalam Islam, yang mendukung Nur Sajat.
"Kamu lihat mereka hidup sangat menonjol di antara keluarga, di komunitas, mengambil bagian dari kehidupan masyarakat. Tapi lebih dari 30 tahun, kami telah memulai kebijakan Islamisasi. Jadi, Anda bisa melihat lebih banyak aturan dan banyak interpretasi Islam, yang jauh lebih sempit dalam penerimaan keberagaman."
Islam bukan hanya agama resmi di Malaysia, tapi juga didefinisikan sebagai atribut penting sebagai orang Melayu, kelompok etnis terbesar di negara itu.
Untuk memenangi pemilu, partai politik tahu mereka harus melakukan yang terbaik di wilayah yang disebut sebagai "pusatnya orang Melayu itu," di mana masyarakat cenderung memiliki pandangan keagamaan yang lebih konservatif. Parpol kerap berkampanye di wilayah-wilayah ini dengan janji untuk lebih keras lagi membela nilai-nilai Islam.
Dengan situasi politik Malaysia yang bergejolak baru-baru ini, dan ekonomi yang terpuruk karena Covid-19, sejumlah orang menduga serangan berlebihan kepada Nur Sajat lebih digerakkan oleh pemerintahan lemah yang berupaya mendapat dukungan banyak pemilih Muslim.
Tapi Nisha Ayub berpendapat, ini masih menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memastikan perlindungan terhadap hak-hak transgender, terlepas dari pandangan Islam yang berbeda. Dia mengatakan bahwa negara Islam lainnya, seperti Pakistan dan Iran, telah mengubah peraturan terkait hal ini.
"Jika pemimpin kami mau mengakui minoritas sebagai bagian dari masyarakat, segalanya bisa berubah," katanya. "Semua diawali dari aturan yang perlu direformasi. Selama hukum secara khusus menargetkan komunitas kami, segalanya tidak akan pernah berubah."
Nur Sajat sangat merindukan putra dan putri adopsinya, yang sedang dalam pengasuhan keluarganya di Malaysia. Tapi dia mendapat kesempatan untuk berbagi pengalamannya dengan transgender lainnya di Australia. Rozana Isa, pendiri Sisters in Islam menyerukan warga Malaysia untuk ebih terbuka dan dewasa dalam bermedia sosial.
"Kenapa kita begitu menyalahkan Sajat? Dia tidak pernah melukai siapa pun dalam unggahannya, atau saat berada di Mekah. Kita malah harus mengawasi diri kita sendiri dari pada menghakimi orang lain." (Kompas.com)