OPINI
OPINI Raden Arief Nugroho : Solidaritas Kepada Disabilitas
It takes two to tango adalah ekspresi idiomatis yang bermakna butuh keterlibatan dua pihak untuk dapat menyelesaikan sebuah permasalahan.
Solidaritas Kepada Disabilitas
Raden Arief Nugroho
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dian Nuswantoro
It takes two to tango adalah ekspresi idiomatis yang bermakna butuh keterlibatan dua pihak untuk dapat menyelesaikan sebuah permasalahan.
Falsafah dari ekspresi ini penulis rasakan semakin relevan di masa pandemi Covid-19 atau di masa adaptasi kebiasaan baru, misalnya lewat program Jogo Tonggo (Jaga Tetangga).
Program yang dicetuskan oleh Gubernur Jawa Tengah sebagai upaya percepatan penanganan Covid-19 berbasis masyarakat ini adalah sebuah pengejawantahan dari sinergi masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi pagebluk ini.
Semangat gotong royong seperti inilah yang saya amati dapat membantu dan memberikan motivasi bagi seluruh masyarakat terdampak pandemi, khususnya para disabilitas sebagai salah satu kelompok yang paling rentan.
Permasalahan seperti minimnya informasi tentang Covid-19 hingga terbatasnya berbagai layanan pendidikan dan kesehatan sudah menjadi “kebiasaan baru” bagi mereka.
Untungnya, walaupun ada perbaikan situasi pandemi, partisipasi proaktif masyarakat untuk terus mendampingi kelompok disabilitas menjadi tren positif yang tidak bisa ditinggalkan.
Untuk menjaga semangat ini, masyarakat perlu diberi pemahaman tentang perbedaan wajah lama dan baru solidaritas kepada disabilitas.
Wajah Baru Solidaritas
Bentuk solidaritas terhadap kelompok disabilitas sejatinya dapat terlihat dari penyebutan mereka. Ada yang menyebutnya dengan orang cacat, disabilitas, atau difabilitas.
Variasi penyebutan ini nampaknya sepele, namun sebenarnya terdapat filosofi di balik istilah ini.
Sebutan orang cacat, walaupun masih populer dalam konteks akademik, saat ini sudah sering dihindari, karena sebutan tersebut dianggap memiliki konotasi negatif karena fokusnya pada kekurangan atau abnormalitas dari sisi jasmani dan rohani.
Yang sering menjadi kerancuan publik adalah istilah disabilitas dan difabilitas. Dari akronim differently abled yang berarti ‘memiliki kemampuan yang berbeda’, sebutan ini populer digunakan oleh masyarakat karena konotasi positif, fokus pada kemampuan dan bukan kekurangan, serta semangat kesetaraannya.
Namun, alasan-alasan itulah yang justru dapat melemahkan momentum untuk saling berkolaborasi dan tolong-menolong antara masyarakat disabilitas dengan nondisabilitas.
Secara bawah sadar, sebutan ‘difabilitas’ mengajarkan kepada masyarakat bahwa kelompok masyarakat disabilitas bisa menjalankan segala sesuatunya sendiri tanpa melibatkan anggota masyarakat lainnya, karena mereka dianggap mampu melakukan apa saja dengan cara yang sedikit berbeda.