Universitas Nasional Karangturi
Kenali Penyakit Bawaan Pangan, Cermat Konsumsi Makanan, Olah Bahan Pangan Secara Tepat
Penyakit bawaan makanan termasuk reaksi alergi dan kondisi lain di mana makanan bertindak sebagai pembawa alergen (agen yang menyebabkan alergi).
Oleh: Immas Walgiyanti, Mahasiswa Teknologi Pangan Universitas Nasional Karangturi
SERING dalam mengkonsumsi makanan, kita tidak memperhatikan apakah makanan tersebut higienis, diolah dengan pengolahan yang tepat, dan bagaimana keadaan bahan baku produk makanan tersebut. Padahal banyak penyakit yang dapat ditimbulkan dari makanan tersebut, yang disebut penyakit bawaan pangan (foodborne disease). Penyakit bawaan pangan merupakan penyakit pada manusia yang ditularkan melalui makanan dan atau minuman yang tercemar.
WHO memperkirakan dari 70 persen dari sekitar 1,5 miliar penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease). Penyakit bawaan pangan sangat rentan terhadap anak-anak. Hal ini diperkuat oleh data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit akibat makanan (foodborne disease) dan diare karena cemaran air (waterborne disease) membunuh sekitar 2 juta orang per tahun, termasuk diantaranya anak-anak. Penyakit bawaan pangan perlu diwaspadai, WHO menyebutnya dengan penyakit bawaan pangan (Food Borne Diseases) merupakan penyakit yang menular atau keracunan yang disebabkan oleh mikroba atau agen yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dikonsumsi.
Pada 2017, berdasarkan data dari Direktorat Kesehatan Lingkungan dan Public Health Emergency Operation Center (PHEOC) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat KLB keracunan pangan berjumlah 163 kejadian, 7132 kasus dengan Case Fatality Rate (CFR) 0,1 persen. KLB keracunan pangan termasuk urutan ke-2 dari laporan KLB yang masuk ke PHEOC, Nomor 2 setelah KLB difteri. Hal ini menunjukkan bahwa KLB Keracunan Pangan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang harus diprioritaskan penanganannya.
Terkadang setelah mengkonsumsi makanan tertentu kita merasa mual, muntah, sakit, dan pusing. Kita menduga hal tersebut terjadi karena keracunan makanan, namun hal itu bisa saja terjadi akibat penyakit bawaan pangan. Penyakit bawaan pangan dan keracunan makanan merupakan suatu hal yang berbeda. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menyatakan bahwa penyakit bawaan makanan adalah infeksi atau keracunan yang dihasilkan dari makanan yang terkontaminasi mikroorganisme hidup atau racunnya. Penyakit bawaan makanan termasuk reaksi alergi dan kondisi lain di mana makanan bertindak sebagai pembawa alergen (agen yang menyebabkan alergi). Sedangkan keracunan makanan adalah bentuk dari penyakit bawaan makanan yang disebabkan oleh tertelannya racun yang ada dalam makanan.
Berdasarkan laporan BPOM (2018: 148), penyebab KLB keracunan pangan pada tahun 2016 teridentifikasi terbanyak adalah mikrobiologi (30 persen diduga dan 3,33 persen terkontaminasi) sedangkan asal pangan penyebab KLB terbanyak adalah masakan rumah tangga 49,15 persen, pangan jajanan 20,34 persen, jasa boga 15,25 persen, dan pangan olahan 15,25 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa praktik sanitasi dan higienis serta pengolahan pangan yang benar, belum dilakukan dengan baik pada tingkat rumah tangga.
Menurut Nurhayati (2009), produk makanan yang beredar di dalam negeri seperti bakso, tahu, krupuk, sosis, kemplang, sirup, es manis, manisan, pempek, ikan asin, dan lainnya sering kali disinyalir mengandung formalin. Hasil pemeriksaan makanan dan bahan makanan yang mengandung bahan tambahan pengawet (BTP) seperti borak, formalin, dan pewarna tekstil, umumnya didapat pada makanan yang dijajakan di pasar tradisional dan sekolah.
Ernawaty dan Mardiah (2013) juga mengungkapkan tidak sedikit produk pangan yang masuk ke Indonesia tanpa disertai informasi yang jelas pada kemasan produknya. Informasi yang tidak jelas pada kemasan produk impor tersebut dapat dikarenakan menggunakan bahasa asing dan tidak disertai dengan bahasa Indonesia yang komunikatif. Akibatnya para konsumen tidak paham isi dan komposisi produk tersebut. Ada juga informasi yang tercantum pada kemasan dimanipulasi yaitu menyembunyikan bahan kimia yang berbahaya dan terkandung dalam produk pangan, seperti di antaranya formalin, borak, dan Rhodamin B.
Selain BTP penyakit bawaan pangan juga disebabkan oleh infeksi patogen, di antaranya bakteri, parasit, dan virus. Supardi dan Sukamto (1999), mengungkapkan penularan pada foodborne disease umumnya melalui oral, jika tertelan dan masuk ke dalam saluran pencernaan akan menimbulkan gejala klinis diantaranya mual, muntah dan diare. Apabila gejala diare dan muntah terjadi dalam waktu lama, maka dapat mengakibatkan dehidrasi atau kehilangan cairan tubuh. Masa inkubasi penyakitnya berkisar antara beberapa jam sampai beberapa minggu, bergantung pada jenis bakteri yang menginfeksinya.
Walaupun demikian, tidak semua bakteri yang masuk ke dalam tubuh akan dapat menimbulkan penyakit, tergantung dari virulensi bakteri serta respon sistem kekebalan tubuh. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya foodborne disease, diantaranya patogenitas dari agen penyebab, alat distribusi makanan, kondisi yang memungkinkan agen patogen untuk hidup, dan kerentanan dari mikotoxin, residu pestisida, obat-obatan hewan ternak, agen agen yang tidak lazim seperti ditemukannya prion yang merupakan bagian dari spongiform encephalopathy dan lingkungan yang tercemar.
Infeksi oleh microba patogen yang menyebakan penyakit bawaan pangan di antaranya Escherichia coli (E. coli) terdapat pada air yang kotor atau makanan yang terkontaminasi bakteri tersebut, terutama sayuran mentah dan daging yang tidak matang. Salmonella terdapat pada telur, ayam, daging, susu mentah, keju, serta sayuran dan buah-buahan yang terkontaminasi. Norovirus, ditemukan pada makanan mentah, air yang terkontaminasi, kerang yang terkontaminasi. Listeria, ditemukan pada susu mentah (susu yang tidak dipasteurisasi), keju dari susu mentah. Clostridium perfringens dan C. botulinum terdapat di alam, misalnya tanah, sampah, debu, kotoran hewan dan manusia, serta bahan makanan asal hewan.
L. Monocytogenes banyak ditemukan pada susu mentah, daging sapi, daging unggas, ikan laut dan produknya, serta makanan siap saji. Campylobacter spp ditemukan pada ayam, telur, daging babi, susu dan produk-produknya yang dimasak tidak sempurna, serta non-chlorinated water. Gejala yang dapat dikenali apabila terinfeksi microba patogen, berupa sakit perut, mual, muntah, diare, kram (kejang) perut, sakit kepala, tidak ada nafsu makan, demam, dehidrasi bahkan dapat mengakibatkan kanker.
Menurut Permenkes RI No 1096/Menkes/Per/VI/2011 tentang higiene dan sanitasi jasa boga, higiene dan sanitasi makanan adalah semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk memastikan keamanan dan kesesuaian makanan pada setiap tahap rantai makanan. Pengelolaan makanan oleh jasa boga dalam hal ini penyajian inflight meal harus memenuhi higiene dan sanitasi yang dilakukan sesuai cara pengolahan makanan yang baik. Tujuan dari higiene sanitasi yaitu mencegah kontaminasi makanan oleh bakteri, mencegah perkembangbiakan bakteri dan mencegah terjadinya kontaminasi silang dan rekontaminasi.
Terdapat 6 prinsip higiene dan sanitasi makanan menurut Permenkes RI No 1096/Menkes/Per/VI/2011 tentang higiene dan sanitasi jasaboga. UU No 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan yang pertama pemilihan bahan makanan secara umum dengan memilih makanan yang bersih, tidak berbau, tidak berubah warna serta segar dan tidak berulat untuk sayur- sayuran. Bahan makanan yang dalam bentuk kemasan harus memperhatikan tanggal kadaluwarsanya.