Berita Jateng
Paguyuban Sales Keluhkan Minyak Goreng Langka di Jateng, Ini Tanggapan Wakil Rakyat Asal Jateng
Usai dua pekan pemerintah menggelar operasi pasar di sejumlah wilayah, harga minyak goreng di sejumlah wilayah menurun.
TRIBUNJATENG.COM, SURAKARTA -- Usai dua pekan pemerintah menggelar operasi pasar di sejumlah wilayah, harga minyak goreng di sejumlah wilayah menurun.
Persoalannya, kelangkaan minyak goreng masih terjadi, terutama di Solo Raya.
“Kami hampir sebulan ini libur memasarkan minyak goreng, karena barangnya tidak ada. Kalaupun masih ada stoknya di pabrik, namun bila dijual tentu rugi,” ujar Ketua Paguyuban Salesman Minyak Goreng Kemasan se-Solo Raya, Ilham Masruri.
Bila pemerintah tidak turun tangan mengganti kerugian pabrik atau distributor, mereka akan merugi yang setara dengan kerugian selama setahun, “Kami memperoleh informasi, bahwa hanya butuh waktu sebulan agar harga normal terkendali. Tapi minyak goreng adalah kebutuhan pokok, sebulan itu cukup membuat kepanikan terutama para ibu rumah tangga,” papar Ilham.
Menurut Ilham, harga minyak goreng terus melambung karena produsen minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mengikuti harga pasar dunia.
Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, harga CPO dunia mencapai level tertinggi pada pekan kedua Januari 2022 di posisi Rp12.736 per liter. Harga itu lebih tinggi 49,36 persen dibandingkan dengan pada Januari 2021.
Uniknya, harga CPO yang tinggi ini diterapkan di dalam negeri sehingga mengerek pula harga minyak goreng di tangan konsumen.
Lahirnya Peraturan Menteri Pedagangan (Permendag) RI No. 6 Tahun 2022 Tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit, berupaya untuk menekan harga minyak goreng. Persoalannya, produsen akhirnya menahan diri menjual stoknya agar tak rugi, karena membeli CPO dengan harga tinggi.
Hal tersebut mendorong, Paguyuban Salesman Minyak Goreng Kemasan se-Solo Raya menemui Anggota DPR RI Komisi VI, Singgih Januratmoko.
Menanggapi hal tersebut, Singgih meminta para penjual minyak goreng untuk menahan diri menghadapi gejolak harga. Ia memperkirakan dalam sebulan harga akan terkendali.
Persoalannya, menurut Singgih para produsen CPO memanfaatkan tinggi minyak sawit mentah dunia untuk menaikkan harga di dalam negeri, “Ini tidak adil, harus dipisahkan antara harga global dan harga dalam negeri,” tegasnya.
Ia mengingatkan, sebagai produsen minyak sawit harga yang ditetapkan dalam Permendag No. 6 tersebut masih menguntungkan produsen CPO. Dari sisi produksi, menurut Singgih, seluruh bahan baku ada di dalam negeri dengan jumlah melimpah, SDM merupakan warga sekitar perkebunan sawit. Sementara lahan yang digunakan untuk menanam sawit merupakan milik negara.
“Jadi tidak ada alasan untuk membuat harga CPO di dalam negeri mengikuti harga internasional, kasihan masyarakat dan mereka yang terlibat dalam rantai produksi dan konsumsi minyak goreng,” ujar Singgih.
Singgih berharap, antara produsen CPO, produksi dan distribusi minyak goreng lebih terkoordinasi. Sehingga tidak terjadi kelangkaan minyak goreng, yang menyulitkan masyarakat. Atau, pada masa depan tidak terjadi harga minyak goreng yang terlalu mahal, dengan dalih harga CPO di pasaran internasional sedang tinggi. (*)