OPINI
OPINI Mukhlis Mustofa : Karena Bersekolah Merenda Sejarah
KEKHAWATIRAN Ridwan Mahendra tentang kesiapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) seperti tersaji di Opini Tribun Jateng Selasa 25 Januari 2022 bukannya tan
Oleh Mukhlis Mustofa, SPd, MPd
Mahasiswa S3 Pendidikan IPS Unnes
KEKHAWATIRAN Ridwan Mahendra tentang kesiapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) seperti tersaji di Opini Tribun Jateng Selasa 25 Januari 2022 bukannya tanpa alasan.
Latar belakang Ridwan Mahendra sebagai pengajar SMP saya meyakini memliki pemikiran tersendiri di balik keresahan beliau tentang pelaksanaan PTM penuh.
Dibukanya kembali sekolah seiring penurunan level dalam PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) serta rampungnya vaknisasi bagi guru seperti tersaji di beberapa platform media mulai bulan Januari 2022 ini tanpa disadari menjadi oase kerinduan public saat ini.
Pelaksanaan PTM berbalas kekhawatiran ini bukan kali ini saja terpatri mengingat selama ini rencana pembukaan sekolah pada masa pendemi ini sedemikian kuat menjadi ranah diskusi pubik sekaligus menggambarkan betapa euforia bersekolah ini menemukan katarsisnya.
Hiruk pikuk rencana pembukaan sekolah di masa pendemi ini dengan beragam simulasi menjadi diskursus menarik semua pihak.
Sekolah menjadi elemen sosial sedemikian dirindukannya khalayak mengingat semua komponen sosial negeri ini sudah dibuka kembali dengan protokol tersendiri.
Fenomena ini patut menjadi catatan tersendiri dalam pengelolaan pendidikan walaupun berpotensi mengandung beragam resiko yang harus diantisipasi di masa pendemi.
Fungsionalitas, efisiensi hingga aspek historis dihadirkan sebagai ketersikapan proses pembukaan sekolah teramat indah manakala mempertimbangkan bahwa proses bersekolah bagi seorang anak adalah ikhtiar merenda sejarah pribadi yang tak mudah tergantikan.
Rencana pembukaan sekolah menjadi dambaan bagi siswa berikut orangtuanya yang selama ini sedemikian jenuh belajar di rumah dalam medio setahun terakhir.
Dalih pengambil kebijakan pendidikan bahwa pembukaan sekolah ini memenuhi aspek keadilan dengan asumsi penyediaan layanan pendidikan berpotensi menumbuhkan implikasi tak berkesudahan dan harus segera diselesaikan.
Permasalahan membuka sekolah tidak semata–mata memindah fasad fisik namun memunculkan dampak sistemik bagi penyelenggaraan pendidikan pada umumnya.
Pembukaan sekolah secara tidak langsung sangat berpengaruh pada penyelenggaraan pendidikan di sebuah wilayah pada masa ini.
Dengan adagium ini, dimana pendemi ini jika sebuah sekolah dibuka pada suatu wilayah, dipastikan keberadaan layanan pendidikan di kawasan tersebut akan sangat terpengaruh.
Kondisi ini patut diantisipasi agar sekolah tidak dikambinghitamkan manakala permasalahan muncul. Dua sisi persepsi ini layak dikedepankan
Pasalnya, antara sekolah dengan masyarakat di masa pendemi ini terposisikan sebagai mitra sejajar yang mencerdaskan anak bangsa.
Bagaimanakah mempersepsikan tuntutan pembukaan sekolah menjadi sebuah pertanyaan yang harus dipersepsikan sedemikian proporsional.
Pemetaan pendidikan
Pembukaan atau penutupan sekolah di masa pendemi tanpa disadari dipersepsikan menjadi ranah diskusi hangat pengambil kebijakan pendidikan dan kesehatan.
Saling tumpang-tindihnya pengelolaan sekolah ini membuktikan belum komprehensifnya pemetaan sekolah di suatu wilayah dalam masa pendemi ini.
Penyelenggara pendidikan selayaknya harus melakukan kajian komprehensif dari sisi historis bagaimanakah operasional sekolah dilaksanakan dibangun puluhan tahun silam.
Desain sekolah tersebut secara tidak langsung bentuk pemetaan wilayah masa lalu yang berpotensi menjadi warisan budaya tak tergantikan teramat sayang untuk dipaksakan dilakukan.
Pembukaan sekolah selayaknya menyadarkan pihak pemerintah saat ini untuk memosisikan pemetaan sekolah berkaitan komposisi penduduk di terdampak pendemi lingkungan sekitar.
Prinsip ketepatan pemetaan ini berpijak bahwa pemetaan pendemi tersebut masih saling tumpang tindih dengan sekolah lain bahkan kawasan lain.
Niatan untuk menyediakan layanan pendidikan harus dikaji ulang dikaitkan dengan kondisi geografis kawasan bersangkutan.
Pemetaan ini akan lebih efektif jika dikaitkan dengan bagaimanakah karakteristik masyarakat sekitar terutama berkaitan dengan aksesibilitas sekolah dengan masyarakat.
Pembukaan sekolah sekedar memenuhi tuntutan publik tanpa ada kajian komprehensif menyeluruh tidak ubahnya perampasan hak edukatif siswa.
Pembukaan sekolah dengan wacana penyelesaian masalah zonasi pendemi justru memunculkan masalah tersendiri.
Ada beberapa langkah yang seharusnya dilakukan agar pengelolaan sekolah ini menyejahterakan, tanpa menzalimi pihak lain.
Mengembangkan kelas proporsional menjadi langkah awal agar keberlangsungan pendidikan tidak terpengaruh signifikan kebijakan.
Pembelajaran menyenangkan sebagai ranah pendidikan kekinian patut diperhatian demi mempertimbangkan alasan keterjangkauan.
Dapat disiasati dengan pengembangan kelas fungsional. Teknisnya pengembangan sekolah ini membuka kelas sesuai ketersediaan ruangan sekolah setempat.
Tidak perlu memaksakan 21 kelas jika yang tersedia, justru membuka kelas sesuai ketersediaan sebagai perwujudan humanisasi pembelajaran. Kebijakan ini dapat berjalan dengan proporsional baik administratif maupun edukatif.
Berlakukan Amdal
Langkah ini mutlak dilakukan agar pembukaan sebuah sekolah dimasa pendemi tidak menimbulkan permasalahan simultan yang mengurangi marwah pembelajaran.
Konsistensi penyelenggaraan haruslah diawali dengan kesadaran diri dalam pengendalian masa pendemi diikuti tindakan.
Layaknya Amdal industri maupun pusat perbelanjaan, pemberlakuan peraturan ini memiliki sanksi administratif dan berkekuatan penuh.
Sehingga diharapkan pembukaan sekolah tidak semata–mata mengedepankan tuntutan masyarakat namun lebih pada dampak yang dihasilkan terutama dengan penyelenggaraan pendidikan agar tidak dikambinghitamkan minim respon pendemi.
Jika berdasarkan aspek Amdal ini bisa diperkirakan berpotensi menambah masalah di suatu wilayah wabah, sudah selayaknya pemerintah lebih mengedepankan keamanan siswa dibandingkan kenyamanan orang tua.
Proporsional
Tidak kalah pentingnya peningkatan proporsionalisasi peran edukasi berkelanjutan.
Masa pendemi selayaknya menyadarkan seluruh khalayak bahwa tugas pembelajaran tidak menjadi tugas seutuhnya insan pendidikan namun menjadi tugas bersama.
Korelasi semua kalangan dalam lingkaran pendidikan memberikan arti lebih dalam ikhtiar pencerdasan berkelanjutan.
Logikanya guru merupakan profesi bersinggungan langsung dengan siswa, namun orang tua pun memiliki kesamaan peran pendidikan. Maka kerjasama sinergis pendidikan dimasa pendemi ini adalah sebuah kerjasama indah tak terlupakan.
Pembukaan kembali sekolah merupakan sebuah ikhtiar pembukaan peradaban baru pendidikan. Siswa, Guru berikut orang tuanya didalamnya menggantang asa dalam sebuah sejarah tak terlupakan di masa depan.
Sangatlah elegan manakala pelaksanaan pembelajaran di sekolah tersebut tidak sekedar aktivitas mati tanpa banyak makna.
Karena sekolah adalah merenda sejarah maka pelaksanaannya tidak ubahnya roman percintaan Pendidikan layaknya meretas keabadian cinta dengan sederet konsekuensinya.
Hakikat Cinta, kesetaraan dan penghargaan yang terbangun oleh peserta didik semasa sekolah selayaknya menyentuh kesetaraan peran penyelenggaraan pendidikan demi ikhtiar pencerdasan bangsa seutuhnya. (*)
Baca juga: Assiten Ungkap Pesan Rahasia Tuchel via Telepon, Kunci Chelsea Lolos ke Final Piala Dunia Antar Klub
Baca juga: Jadwal TV Televisi Hari Ini Kamis 10 Februari 2022 di Trans TV RCTI Trans7 GTV SCTV dan Lainnya
Baca juga: Kisah Viral Wanita Tak Sadar Hamil: Pagi Tes Kehamilan Positif, Malamnya Langsung Melahirkan
Baca juga: Fokus : Purworejo Massee!