Sejarah Mbah Kalibening Banyumas, Musafir Sakti Sebelum Wali Songo, Wariskan Sumur Pasucen
Makam Mbah Kalibening menjadi wisata religi yang sering dikunjungi oleh Peziarah baik dari wilayah Banyumas maupun luar kota.
Penulis: Imah Masitoh | Editor: Daniel Ari Purnomo
TRIBUNJATENG.COM, BANYUMAS – Makam Mbah Kalibening menjadi wisata religi yang sering dikunjungi oleh Peziarah baik dari wilayah Banyumas maupun luar kota.
Berada di Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat Banyumas lama.
Makam Mbah Kalibening berada di perbukitan sebelah selatan dari Sungai Serayu.
Letaknya di depan pertigaan jalan dengan gerbang bertuliskan Makam Mbah Kalibening.
Untuk sampai pada area makam Mbah Kalibening ini harus berjalan menanjaki tangga yang lumayan tinggi dari gerbang masuk makam.
Suasana begitu sunyi di perbukitan yang masih rimbun pepohonan.
Hanya ada beberapa rumah penduduk yang berada di area makam Mbah Kalibening.
Informasi yang Tribunjateng.com dapatkan dari Juru Kuncen, Mbah Kalibening sendiri merupakan seorang musafir yang datang dari Persia sekitar tahun 1270 sampai 1300-an, bernama asli Syekh Maulana Rumaini.
Beliau menjadi tokoh yang mensyiarkan agama Islam sebelum zaman Walisongo atau era zaman antara Singasari ke Majapahit.
Di sekitar area makam Mbah Kalibening itu sendiri terdapat sebuah sumur yang disebut Sumur Pasucen.
Dalam ceritanya sumur itu terbentuk dari tongkat Mbah Kalibening yang di tanjabkan pada bebatuan ketika Mbah Kalibening sampai di daerah Dawuhan pada waktu sore menjelang Ashar.
Pada saat itu sedang terjadi kemarau di daerah ini sementara Mbah Kalibening akan berwudhu untuk melaksanakan salat.
Dari tongkat yang ditanjabkannya itulah keluar mata air dari bebatuan yang disebut air Pasucen.
Sumur Kalibening pernah dilakukan penggalian oleh Juru Kuncen yang pertama yakni Mbah Ali Besari hingga kedalaman 5 meter dengan lebar 3 meter sehingga berbentuk lingkaran seperi sumur-sumur pada umumnya.
Ada 3 sumur yang ada di area makam Mbah Kalibening pertama, Sumur Pasucen (Sumur Kalibening), kedua, sumur untuk pemandian kaum putri, dan sumur untuk pemandian kaum putra.
Namun hanya Sumur Pasucen yang ada airnya.
Peziarah yang datang sering mengambil air dari sumur ini yang dipercayai dapat sebagai perantara pengobatan.
“Menurut keyakinan masing-masing airnya bisa buat pengobatan. Kesembuhannya ya tergangung Yang Maha Kuasa,” ujar Sunaryoko kepada Tribunjateng.com.
Air dari Sumur Kalibening dapat langsung diminum karena keluar dari batu bebatuan yang ada di dalam.
Banyaknya peziarah yang mengambil air di Sumur Kalibening, saat-saat tertentu mengalami pengurangan air namun akan terisi penuh kembali.
“Peziarah paling mengambil air dengan ukuran galon ukuran 2 literan,” ungkapnya.
Pada awalnya Sumur Pasucen ini hanya digunakan untuk mensucikan benda-benda pusaka saja yang tersimpan di museum pendopo Kalibening.
Total ada 572 pusaka yang tersimpan di museum ini dengan berbagai macam jenis seperti batu-batu, keris, tombak, dan kain-kain kuno.
Pembersihan pusaka itu dilakukan satu tahun sekali yakni pada bulan Maulud.
“Setelah hari peringatan Nabi Muhammad besoknya dilakukan jamasan (pencucian pusaka),” terang Sunaryoko Juru Kuncen Makam Mbah Kalibening sekaligus Juru Pelihara Benda-Benda Pusaka di Museum Kalibening. (ima)