Berita Video
Video Aliansi Solidaritas Wadas Gela Demo di Kantor Gubernur Jateng
Aliansi solidaritas untuk Wadas bersama mahasiswa dan buruh demo di depan kantor gubernur.
Penulis: hermawan Endra | Editor: abduh imanulhaq
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Berikut ini video Aliansi Solidaritas Wadas Gela Demo di Kantor Gubernur Jateng.
Aliansi solidaritas untuk Wadas bersama mahasiswa dan buruh yang tergabung di dalam “Rakyat Jawa Tengah Menggugat” mengadakan aksi demonstrasi di depan kantor Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Kamis (31/3).
Hal tersebut terjadi lantaran tuntutan aksi yang dilakukan sebelumnya hingga saat ini masih belum membuahkan suatu hasil.
Berbagai upaya serta langkah sudah dilakukan baik oleh mahasiswa maupun elemen lainnya. Namun, nyatanya, negara masih belum dapat melaksanakan tanggung jawabnya tersebut dengan optimal.
Koordinator Aksi, Rahmad Yuda, mengatakan, belum optimalnya negara dalam melaksanakan tanggung jawabnya ini dapat dilihat melalui permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan Bendungan Bener yang melibatkan Desa Wadas sebagai lokasi penambangan quarry batuan andesit melalui SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 Tahun 2018.
Tidak hanya itu, pemerintah juga nyatanya menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Tengah yang tergolong rendah di tengah harga kebutuhan pokok yang tengah mengalami kenaikan.
Hal tersebut menandakan bahwa penetapan UMP tidak sesuai dengan kondisi perekonomian Jawa Tengah.
Sejatinya, menurut Yuda pembangunan Bendungan Bener sebagai salah satu bagian dari implementasi PSN direncanakan akan menjadi sebuah bendungan dengan kapasitas yang besar.
Namun, rencana pembangunan Bendungan Bener dengan segala perkiraan kebermanfaatannya, nyatanya tidak berbanding lurus dengan implementasi di lapangan, yang mana dalam pembangunan tersebut diselundupkannya pertambangan batuan andesit di Desa Wadas untuk menunjang pembangunan bendungan.
Penambangan quarry andesit yang akan dilakukan di Desa Wadas tersebut akan dilakukan dengan pengeboran, pengerukan, dan peledakan dengan 5.300ton dinamit sedalam 40 meter.
Hal demikian kemudian menjadikannya sebagai suatu polemik mengingat Pasal 42 huruf c dan Pasal 45 huruf e Perda No.27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo Tahun 2011-2031 menyatakan bahwasannya Desa Wadas merupakan salah satu desa dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap tanah longsor dan bencana kekeringan.
Selain itu, berdasarkan Pasal 54 Perda tersebut, menyatakan bahwasannya wilayah Desa Wadas diperuntukan untuk perkebunan kelapa, cengkeh, kopi robusta, aren, kelapa, dan kakao.
Sejatinya, dalam pembangunan PSN tidak boleh bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah daerah, yang mana hal ini akan berpotensi terhadap kerusakan 27 titik sumber mata air di Desa Wadas, hingga pelanggaran pada konsep pertambangan yang seharusnya dilaksanakan dengan memberikan perhatian terhadap aspek lingkungan, sosial-ekonomi, dan Hak Asasi Manusia.
"Dalam faktanya, hal demikian tidak hanya menimbulkan implikasi terhadap aspek lingkungan saja, lebih jauh dari pada itu, proyek pembangunan Bendungan Bener nyatanya sarat akan persoalan hukum," ujarnyam
Yuda menambahakan, apabila menilik dari proses pembentukan AMDAL yang terdapat di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah menjadi UU Cipta kerja dan Permen LH No. 17 Tahun 2012, nyatanya masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya.
Selain itu, dokumen AMDAL antara pertambangan dengan bendungan juga digabungkan, yang mana hal demikian berarti tidak sesuai dengan Pasal 22 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Permen LH No.5 Tahun 2012.
"Proses pembentukan AMDAL yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat hingga mata pencaharian warga Desa Wadas yang direnggut sebagai implikasi pertambangan batuan quarry andesit, akhirnya memicu pergolakan dari warga dalam bentuk penolakan terhadap pembangunan Bendungan Bener, terkhusus pertambangan batuan andesit, " imbuhnya.
Namun, lannjut Yuda penolakan yang dilakukan oleh warga dengan berbagai upaya tersebut nyatanya mendapatkan tindakan represif oleh aparat.
Sebagai contoh, di tahun 2021 tepatnya pada tanggal 23 April, warga beramai-ramai melakukan aksi demonstrasi dengan memblokade jalan guna menghalangi aparat masuk ke Desa Wadas dalam upaya sosialisasi dan pematokan lahan.
Namun, aksi yang semula berjalan dengan damai justru mendapatkan respon yang berbeda dari pihak aparat.
Sebagai implikasi dari hal tersebut, terdapat 12 orang yang diamankan oleh pihak aparat dan setidaknya 9 orang mengalami luka-luka.
Baru-baru ini pula, tepatnya pada tanggal 8 Februari 2022, terjadi aksi penyerbuan kepolisian di Desa Wadas. Penerjunan personel polisi ditujukan dalam rangka pengukuran tanah milik warga yang dilakukan petugas Badan Pertanahan Nasional.
Dalam faktanya, pengukuran ini mendapatkan penolakan dari warga dan berimplikasi terhadap penangkapan paksa puluhan warga Wadas.
Hal ini terjadi lantaran penyerbuan polisi ini dilakukan dengan Tindakan pencopotan beberapa poster yang berisikan penolakan terhadap pertambangan di Desa Wadas juga pengepungan dan penangkapan sewenang-wenang kepada warga Wadas yang sedang melakukan mujahadah di masjid yang berada di Dusun Krajan.
Yuda menambahkan, apabila menilik dari kasus-kasus tersebut, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat sejatinya telah melanggar serta menciderai hak-hak dari warga negaranya.
UUD NRI Tahun 1945 sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara, tepatnya di Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
"Selain itu, jaminan untuk dapat melakukan kebebasan dalam hal mengeluarkan pendapat nyatanya secara jelas sudah di atur di dalam UU No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Selain itu, Perkap No.7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum juga memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada Polri untuk memberikan pelayanan secara profesional, menjunjung tinggi HAM, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan menyelenggarakan keamanan," katanya.
Kegagalan pemerintah Jawa Tengah dalam memenuhi kebutuhan serta melindungi rakyatnya sejatinya tidak berhenti disitu.
Pada 20 November 2021 lalu, Gubernur Jawa Tengah menetapkan UMP Jawa Tengah tahun 2022 sebesar Rp 1.813.011,- melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 561/37 Tahun 2021 tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Tengah Tahun 2022, yang mana menjadikan jumlah UMP Jawa Tengah menjadi UMP paling rendah di Indonesia.
Apabila merujuk pada ketentuan yang termaktub dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, maka penetapan upah minimum haruslah didasarkan pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dari wilayah yang bersangkutan.
Namun, sejak akhir tahun 2021, beberapa komoditas bahan pokok di Jawa tengah mengalami kenaikan harga yang mencapai dua kali lipat serta angka inflasi sebesar 0,64 persen sebagaimana yang dinyatakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Tidak berhenti di UMP, penetapan upah minimum yang rendah nyatanya juga demikian terjadi pada Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di wilayah Jateng yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 561/39 Tahun 2021 tentang Upah Minimum Pada 35 (Tiga Puluh Lima) Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2022.
Pasalnya, penetapan UMK di beberapa kabupaten/kota tidak mengalami kenaikan yang signifikan dari jumlah UMP-nya, sebagaimana halnya di Kabupaten Banjarnegara yang hanya berselisih antara lain Rp 6.824 dari jumlah UMP Jawa Tengah, atau hanya berkisar sekitar 0,4 persen dari jumlah UMP.
Padahal, kebutuhan masyarakat tentunya mengalami pertambahan di masa pandemi. Ketidaksesuaian upah minimum dengan kondisi ekonomi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih belum bisa menjamin dan memenuhi hak maupun kesejahteraan pekerja atau buruh.
Berdasar permasalahan-permasalahan yang telah di jelaskan, Rakyat Jawa Tengah, pendemo memiliki berbagai tuntutan, diantaranya memerintahkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, untuk menghentikan rencana penambangan di Desa Wadas;
Kemudian memerintahkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, untuk mengeluarkan Desa Wadas dari Izin Penetapan Lokasi (IPL) Bendungan Bener;
Selain itu, memerintahkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, untuk menghentikan segala bentuk represifitas di Desa Wadas dengan mendesak Kapolda Jawa Tengah agar menarik mundur seluruh aparat dan mengusut tuntas dalang dibalik peristiwa 8 Februari 2022.
Tak hanya itu, pendemo juga meminta hentikan intimidasi, represifitas, dan segala bentuk kekerasan Aparat terhadap warga negara. Serta hentikan Pembangunan yang mengabaikan dampak pada kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup rakyat, dengan dalih kepentingan umum, terkhusus di Jawa Tengah
Kemudian, meminta untuk cabut Keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang UMK tahun 2022 di 35 kabupaten/kota yg berdasarkan UU Cipta Kerja.
"Sebagaimana telah disinggung di atas, berbagai upaya seperti advokasi, dialog, dan penyampaian pendapat di muka umum telah dilakukan oleh masyarakat berkenaan dengan rentetan permasalahan yang ada di Jawa Tengah. Namun hingga hari ini, tidak ada langkah maupun solusi atas berbagai permasalahan yang ada di Jawa Tengah oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, " ujarnya.
Yuda menambahkan, selain daripada apa yang telah dipaparkan di atas masih terdapat beberapa permasalahan yang terjadi di Jawa Tengah, salah satunya ialah kasus kekerasan seksual yang mana pada tahun 2021 YLBHI-LBH Semarang mendapatkan banyak aduan mengenai kasus kekerasan seksual.
Selain itu, terdapat pula 45.000 anak di Jawa Tengah yang putus sekolah akibat biaya yang tinggi. Dengan maraknya permasalahan yang ada di Jawa Tengah dan ketidaksanggupan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam menjalankan tanggung jawabnya, dengan demikian kami atas nama “Rakyat Jawa Tengah Menggugat” menyatakan Mosi Tidak Percaya kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo atas segala tindakannya yang menyengsarakan rakyat Jawa Tengah. (*)
TONTON JUGA DAN SUBSCRIBE :