Inilah Sosok Jumini, Lansia Kulon Progo Selamat dari Longsor: seperti keluar dari tanah kubur
detik-detik tanah longsor terjadi di Kulon Progo dan seorang lansia bernama Jumini yang selamat dari musibah itu.
Kompas.com memberitakan detik-detik tanah longsor terjadi di Kulon Progo dan seorang lansia bernama Jumini yang selamat dari musibah itu.
TRIBUNJATENG.COM - Semula hujan deras disertai petir mengguyur Pedukuhan Plampang II, Kalurahan Kalirejo, Kapanewon Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (1/6/2022), menjelang tengah malam.
Jumini (65) belum tidur ketika itu.
Lansia empat cucu ini sedang berkeluh kesah via WhatsApp dengan anaknya di Semarang, Jawa Tengah, tentang betapa deras hujan malam itu, juga begitu menakutkan petir.
Terdengar satu kali suara seperti batu atau kayu ukuran besar retak merekah.
Suaranya mengalahkan deru hujan.
Jumini berniat memeriksa suara itu dari balik jendela.
Kejadian selanjutnya begitu cepat, yang mana rumahnya bergerak hebat dan Jumini seketika tidak ingat apapun.
“Saya tahunya semua gelap. Tidak bisa bergerak. Kaki ada yang menjepit. Saya berada di dalam sesuatu yang padat tapi berair, itu lumpur, basah semua,” kata Jumini, Rabu (6/4/2022).
Jumini mengira dirinya sudah mati.
Ia berusaha keras mengingat bagaimana rumah seketika runtuh.
Ia mulai meyakini dirinya berada di dalam puing rumah.
Jumini berteriak minta tolong, tapi suaranya ditelan hujan.
Sesekali kilat menyambar.
Cahaya terang itu membantu Jumini menemukan celah jalan keluar dari puing rumah.
Setelah kaki dalam lumpur lolos dari jepitan puing, ia merayap di antara celah menuju lubang seukuran badannya yang kecil.
Ia segera berlari ke rumah Wagini (57), tetangga yang hanya 20 meter dari rumahnya.
Penderitaannya belum berakhir.
Jumini harus melewati lumpur sepinggang untuk sampai ke Wagini.
Ia memanggil-manggil.
Awalnya penghuni rumah takut sehingga pintu tidak dibuka karena sosok memanggil itu dipenuhi tanah dari ujung rambut ke kaki, sambil duduk di teras.
“Saya kira apa, kami takut. Dia kelihatan penuh dengan lumpur sekujur badan dan muka, seperti orang keluar dari tanah (kubur),” kata Wagini menerangkan bagaimana mereka sempat ragu.
Akhirnya mereka memberanikan diri keluar rumah setelah yakin orang itu Jumini, tetangga terdekat.
Saat itu, Jumini sambil berteriak “omahku kebrukan (rumahku keruntuhan)”.
Wagini lantas memintanya mandi dan memberi pakaian.
Wagini dan keluarganya, juga Jumini kemudian mengecek lokasi dan menemukan tempat tinggal Jumini sudah rata dengan tanah.
Kisah lansia sendirian Jumini seorang diri hidup di lereng bukit Plampang II.
Kedua anak laki-lakinya sudah berumah tangga dan hidup di kota.
Sedangkan Waidi, suami dari Jumini, sudah meninggal dunia belasan tahun silam.
Rumah tinggal Jumini berada di lereng bukit terjal.
Jaraknya kira-kira satu kilometer dari sebuah sekolah dasar di lereng terbawah.
Menuju ke sana harus lewat jalan samping sekolah, menanjak, berbatu dan rasanya sulit dilewati.
Rumah Jumini paling atas.
Terdapat ekskavator mangkrak di sana.
Jumini menempati dua rumah gebyok atau rumah Jawa model limasan dari kayu.
Rumah satu untuk tidur, yang sebelah depan ruang menerima tamu dan menyimpan gamelan.
Kedua rumah berada di samping jurang yang dalam sampai ke sungai.
Pada sisi yang lain dari rumah adalah tanah samping tebing yang lahannya sudah terkupas.
Lahan dan tebing merupakan tanah keluarga Jumini yang tengah disewa konsesi tambang.
Tebing itulah yang runtuh, Jumat menjelang tengah malam.
"Perkiraan jam 23.30 WIB kalau melihat foto dari tetangga yang memfoto saya kondisi basah itu," kata Jumini.
Rumah gebyok bagian belakang roboh.
Dinding kayu hingga kamar mandi dari rusak berat.
Semua perabotan hancur terkubur.
Nyaris tidak ada yang bisa dimanfaatkan.
Surat berharga, surat pensiun suaminya, perabotan yang dibikin sendiri, baju, uang, hingga emas tidak ditemukan.
“Kerugian bisa ratusan juta," kata Jumini pasrah.
Jumini mengaku sebenarnya tidak sepenuhnya berani hidup sendiri di sana.
Kedua anaknya sudah berulang kali memaksa dirinya untuk tinggal bersama mereka di kota.
Jumini mengatakan tidak siap meninggalkan rumah penuh kenangan bersama suaminya.
Ia masih mengingat bagaimana Waidi banting tulang dengan keahlian perkayuan membuat banyak barang, hingga akhirnya diterima sebagai pegawai negeri di dinas tenaga kerja dan transmigrasi.
Namun, Waidi terlalu cepat dipanggil Tuhan.
"Bukan bondho (harta) yang saya berat hati meninggalkan semua ini, tapi kenangan rumah ini begitu banyak. Dari kami hidup susah lalu bisa berhasil," kata Jumini sambil menangis.
Ia menegaskan, kenangan itu tidak ternilai.
Kini, ia mengingat lagi bagaimana kenangan terbesar sejatinya adalah bersama anak dan cucu.
Karena itu ia berniat akan tinggal bersama salah seorang di antaranya di kota.
Sesekali nanti, lansia ini akan menengok rumah.
Sementara itu, bantuan terus mengalir ke rumahnya. Terutama dari warga pedukuhan dan kalurahan.
Ia menerima bantuan sembako lewat Dukuh (kepala dusun) setempat hingga kementerian sosial.
Semuanya diterima sambil ia terus berupaya menyelamatkan barang yang masih bisa diselamatkan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com