Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Ramadan 2022

TADARUS Sholahuddin, SS, MA : Memaknai Ramadan sebagai Madrasah

PERINTAH doktrinal puasa Ramadan sehingga berujung kepada visi La’allakum Tattaqun perlu untuk dicamkan oleh umat Islam.

IslamiCity
Ilustrasi Ramadan 

Oleh: Sholahuddin, SS, MA
Ketua Aswaja NU Center Jepara


PERINTAH doktrinal puasa Ramadan sehingga berujung kepada visi La’allakum Tattaqun perlu untuk dicamkan oleh umat Islam.

Puasa sebagai laku spiritual sebetulnya merupakan ritual yang berlaku pada semua umat beragama sebelum Islam.

Prof Komaruddin Hidayat---Mantan rektor Universitas Islam Syarif Hidayatullah---pernah mengatakan bahwa puasa merupakan starting point untuk menuju kepada derajat ketakwaan kepada Allah SWT.

Pertanyaanya, dapatkah puasa Ramadan tahun ini merubah perilaku kita. Atau hanya sekedar serangkaian ritual yang kita lakukan karena sebuah keterpaksaan atau untuk menggugurkan perintah Allah SWT.

Kasus mahalnya minyak goreng di pasaran serta maraknya radikalisme di kalangan remaja membuat kita perlu tertegun reflektif untuk muhasabah.

Seharusnya, Puasa menjadi jeda universal bagi umat Islam untuk merefleksikan kembali tentang eksistensialismenya.

Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu (barangsiapa yang mengetahui dirinya maka dia sungguh telah mengetahui Tuhannya).

Sebagai sebuah ibadah yang sangat private, puasa menjadikan umat Islam bisa mengatur dan mengkontrol sifat dan ketamakan yang menjadi basis dari segala sifat tercela.

Tidak tamak

Minimnya nilai-nilai altruistik yang menjadi kebajikan bersama di ruang publik hampir jamak kita temui di berbagai macam sudut kehidupan.

Salah satu contoh adalah apa yang pernah dikemukakan oleh budayawan Mohamad Sobary yaitu pilihan untuk bersabar, misalkan tidak mengambil yang bukan hak padahal kesempatan itu ada.

Tetap konsisten dalam kesederhanaan di tengah gebyar dunia yang membahana. Inilah yang menjadi tantangan kita dalam membumikan visi puasa ramadan.

Puasa Ramadan sejatinya tidak hanya menahan dari lapar dan dahaga, lebih dari itu adalah apa yang disebut dalam khazanah Islam dengan shiyamul jawarih, yaitu puasa yang dibarengi dengan pengekangan terhadap anggota tubuh manusia, puasa lisan adalah meninggalkan ucapan yang kotor dan menyakitkan orang, puasa pendengaran berarti hanya mendengarkan sesuatu yang diperbolehkan oleh syara’, puasa kedua mata adalah berarti meninggalkan untuk melihat sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan seterusnya.

Inilah puasa yang benar-benar berimplikasi kepada tindakan nyata yaitu kesalehan sosial dan individual sekaligus. Puasa seperti inilah yang memberikan liberasi kepada orang yang melakukannya, liberasi dari kungkungan hegemoni duniawi dan materialisme.

Jika manusia mengikuti hedonisme dan materialisme maka sungguh tidak akan ada habisnya. Oleh karena itu nabi Muhammad SAW senantiasa mengingatkan kepada umatnya bahwa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala puasa, yang ia dapatkan hanya lapar dan dahaga.

Toleransi

Puasa juga merupakan saat dan momentum yang tepat untuk bisa mempertebal perasaan toleransi antar umat beragama. Sebagai negara dengan multi etnis dan agama, Ramadan bagi muslim merupakan madrasah kedermawanan sosial untuk memperkokoh toleransi berbasis keimanan.

Hal ini dipraktikkan dengan baik oleh Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid lewat program sahur bersama anak jalanan, pengamen, mustdahafin dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, ibu Sinta juga mengundang tokoh agama lain untuk berbuka puasa bersama.

Apa yang dilakukan oleh mantan ibu negara tersebut, adalah pantulan penting bagaimana puasa ternyata menjadi medium untuk bisa mempertebal toleransi berbasis iman.

Iman yang kuat tidak akan goyah dengan berbagai macam gesekan antar iman. Forum seperti itu justru momentum untuk mencari common ground diantara berbagai macam perspektif antar umat beragama.

Mempertebal toleransi begitu penting sekarang ini dimana kita lihat ke-Indonesi-an kita sekarang sedang digerogoti oleh radikalisme dan juga terorisme.

Data dari Maarif Institute yang disiarkan oleh Kompas menyebutkan bahwa ideologi radikal telah menyusup ke media sosial. Penelitian Siti Sarah Muwahidah--- peneliti Maarif Intitute---menyebutkan bahwa orang dengan begitu mudah menyebarkan berita atau informasi yang berisi kebencian atau hujatan kepada kelompok lain, tanpa melakukan verivikasi sebelumnya.

Tirakat

Memaknai puasa harus diinternalisasi dalam diri seorang muslim, yang juga berarti harus terpantul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Puasa Ramadan menjadi madrasah tirakat yang diharapkan bisa mempertebal toleransi seorang muslim.

Toleransi yang menghilangkan batas dan sekat, sehingga mengundang kerjasama antar umat beragama untuk melakukan perang dan jihad menghadapi radikalisme dan terorisme.

Mari kita syi’arkan madrasah Ramadan dengan kegiatan yang substantif dan menjauhkan diri dari konsumerisme. Laku hidup yang sakmadya, sederhana ditengah gebyar eksploitatif ruang maya kita. Sehingga keluar dari madrasah Ramadan kita menjadi menusia yang bersih dan kembali kepada fithrah.

Semoga Ramadan tahun 1434 H ini benar-benar menjadi madrasah yang melatih kita untuk mempertebal toleransi, kedermawanan, dan kesetiakawanan sosial untuk membendung radikalisme dan terorisme yang menjadi musuh kita bersama. Wallahu A’lam Bi Ashawaab. (*)

Baca juga: Zinidin Zidan Syok Dihujat Usai Parodikan Andika Kangen Band: Muntah-Muntah, Dua Hari Enggak Tidur

Baca juga: 6 Lokasi Pos Siaga Astra Arus Mudik 2022, Bisa Servis Kendaraan dan Istirahat, Berikut Nomor Darurat

Baca juga: Jelang Lebaran, Penjual Aneka Kue Kering di Banyumas Kebanjiran Pesanan

Baca juga: Viral Warga Batang Usir Wanita yang Datang ke Rumah Suami Minta Harta Gono-gini

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved