Tak Ada Program Vaksin Covid-19 di Korut, WHO Khawatir
Korut tidak memiliki program vaksin covid-19 yang diketahui, dan tidak ada bukti bahwa Korut telah mengimpor atau memberikan vaksin apa pun.
TRIBUNJATENG.COM, SEOUL - Kim Sin-gon, seorang profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Korea Seoul, mengatakan, sebagian besar orang yang mengalami demam di Korea Utara (Korut) kemungkinan besar adalah pasien virus.
Menurut dia, Korut memiliki jumlah alat tes covid-19 yang terbatas. Korut juga tidak memiliki program vaksin covid-19 yang diketahui, dan tidak ada bukti bahwa Korut telah mengimpor atau memberikan vaksin apa pun.
Korut diketahui sempat mendaftar ke inisiatif COVAX pada akhir 2020, tetapi lonjakan besar dalam kasus Delta di India menyebabkan masalah pasokan.
Korut juga mengantisipasi pengiriman vaksin AstraZeneca, di mana efek samping yang dilaporkan pada akhirnya membuat negara tersebut melewatkan kesempatan mendapatkan vaksin itu.
Terkait dengan upaya penanganan covid-19 itu, Korea Selatan dan Amerika Serikat (AS) sebenarnya telah menawarkan untuk membantu Korut, termasuk dengan menyediakan stok vaksin. Namun, negara yang dipimpin Kim Jong Un tersebut belum menanggapi tawaran itu.
Juru Bicara Kedutaan Besar Rusia di Korut mengatakan kepada TASS bahwa pihak berwenang negara itu hingga kini juga belum mengajukan permintaan pasokan vaksin Rusia.
Korea Utara, yang memiliki sistem kesehatan terburuk di dunia, belum memvaksinasi sekitar 25 juta orangnya, setelah menolak suntikan yang ditawarkan oleh WHO.
Kekhawatiran atas ketidaksiapan Korut, Ryan Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan, WHO bekerja sama dengan Korea Selatan dan China untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya tentang keadaan di negara itu.
Ryan menekankan pentingnya mengekang wabah di negara miskin itu, di mana WHO terus menawarkan dukungan melalui vaksin. "Kami telah menawarkan bantuan pada beberapa kesempatan. Kami telah menawarkan vaksin pada tiga kesempatan terpisah. Kami terus menawarkan," terangnya.
WHO telah berulang kali memperingatkan agar tidak membiarkan virus penyebab Covid-19 menyebar tanpa terkendali. Antara lain karena kemungkinan besar akan bermutasi dan menghasilkan varian baru yang berpotensi lebih berbahaya.
"Kami tidak ingin melihat penularan penyakit ini secara intens pada populasi yang rentan, dalam sistem kesehatan yang telah melemah. Ini tidak baik untuk rakyat (Korea Utara). Ini tidak baik untuk kawasan. Ini tidak baik untuk dunia," papar Ryan.
Adapun, Korut mengklaim mengenai kemajuan negara tersebut dalam penanganan wabah covid-19. Meski demikian, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meragukan hal itu.
Kantor berita resmi Korea Utara, KCNA, pada Kamis (2/6), melaporkan 96.610 kasus demam baru dan tidak ada kematian baru. Jumlah itu merupakan penghitungan harian resmi tiga hari berturut-turut di mana jumlah kasusnya di bawah 100.000, sebagaimana dilansir DW.
Jumlah total kasus covid-19 di Korut tercatat telah melebihi 3,8 juta sejak akhir April. Sebanyak 3,6 juta pasien telah pulih. Jumlah kematian terkait demam sebelumnya mencapai 70 orang.
Meski demikian, Pyongyang juga tidak pernah secara langsung mengonfirmasi jumlah orang yang dites positif covid-19, sehingga meningkatkan kekhawatiran para ahli tentang skala masalah yang sebenarnya.
Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan menyayangkan sikap Korut yang tidak memberi pihaknya akses ke data tentang wabah virus corona di negara itu.
"Kami berasumsi bahwa situasinya semakin buruk, bukan lebih baik. Saat ini kami tidak dalam posisi untuk membuat penilaian risiko yang memadai dari situasi di lapangan," katanya, sebagaimana dikutip CNA. (Tribunnews/Kompas.com)