OPINI
OPINI Nurist Ulfa: Pentingnya Komunikasi Lingkungan Hidup Partisipasif Dalam Tangani Bencana Air Rob
Krisis lingkungan hidup dan beragam persoalan sosial budaya yang terjadi akibat banjir rob di Semarang dan sekitarnya beberapa waktu belakang ini
Komunikasi Lingkungan Hidup Partisipasif
Dalam rangka meningkatkan keterlibatan stakeholders dan masyarakat luas pada program mitigasi krisis lingkungan hidup terkait banjir rob di Semarang, perlu diimplementasikan komunikasi lingkungan hidup yang partisipatif.
Di mana tujuannya adalah membangun partisipasi masyarakat lewat komunikasi lingkungan hidup yang strategis dan efektif.
Komunikasi lingkungan ini merupakan upaya untuk membicarakan, mempelajari dan menyebarkan informasi dan pengetahuan tentang lingkungan hidup dari beragam sumber ilmu, baik berbasis ilmiah maupun kebijaksanaan lokal (Harris 2019).
Beberapa penelitian menunjukkan komunikasi lingkungan hidup yang efektif, tidak hanya mampu meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan penanganan masalah lingkungan (Harris 2018), namun juga bisa meningkatkan inisiatif masyarakat dalam proses perumusan solusi (Brulle 2010).
Proses komunikasi lingkungan tersebut, idealnya harus bisa memfasilitasi kolaborasi, dialog, dan pemecahan masalah yang saling menguntungkan berbagai pihak yang terlibat.
Selain itu, masyarakat juga bisa mendapatkan pemahaman kritis tentang program-program pemerintah dan berbagai metode alternatif yang bisa diupayakan untuk pemecahan masalah lingkungan hidup secara praktis (Kheerajit and Flor, 2013).
Namun sayangnya, pelaksanaan komunikasi lingkungan hidup di Indonesia bisa dikatakan masih rendah dan kurang partisipasif.
Dalam prakteknya, model komunikasi lingkungan top down seperti yang selama ini banyak dilakukan di Indonesia masih bersifat elitis (Apresian 2021, Nastiti dan Riyanto, 2022) dan cenderung media sentris (Arietya 2020).
Sehingga seringkali hanya memproduksi pemahaman yang parsial, dangkal dan tidak mampu mengungkap masalah yang dihadapi oleh masyarakat terdampak secara lebih mendalam.
Memang telah disebutkan dalam literatur bahwa keterlibatan masyarakat dalam komunikasi lingkungan di ruang publik bergantung pada kekuatan/modal ekonomi, politik dan budaya (Hansen 2015).
Misalnya, terkait bencana banjir rob di Semarang, data yang dihimpun oleh Koalisi Pesisir Semarang Demak (Bosman dkk, 2020) menemukan bahwa pandangan dan ide masyarakat awam terkait krisis lingkungan hidup seringkali hanya berakhir di jagongan antarwarga di pasar atau obrolan antartetangga saja.
Sementara, pemahaman terhadap pandangan dan pengalaman masyarakat terdampak tersebut penting, tidak hanya untuk memunculkan diskusi tentang kasus-kasus khusus dan keterkaitannya dengan berbagai isu sosial politik ekonomi secara luas, tetapi juga menjadi input (masukan) berharga bagi gerakan aktivisme sosial yang memihak kepentingan masyarakat terdampak.
Selain itu, isu-isu lingkungan yang muncul di media saat ini hanya mengedepankan narasi dominan, yang seringkali hanya berupa publikasi program hubungan masyarakat dan kepentingan komersial lainnya.
Komunikasi lingkungan hidup idealnya bersifat transformatif, yang mana tidak lagi sekedar kampanye top-down yang berfokus untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang masalah lingkungan, tetapi juga bisa memunculkan identifikasi masalah dan alternatif solusi yang kontekstual dan realistis pada lokalitas tertentu.