Liputan Khusus
Pembahasan Legalisasi Ganja untuk Medis, MUI: Ada Pengecualian jika Kondisi Darurat
Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, sempat mengatakan akan mengkaji lebih dalam dari perspektif agama terkait penggunaan ganja untuk medis. P
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Dalam hukum Islam, segala hal yang memabukkan hukumnya haram. Baik dikonsumsi dengan cara banyak maupun sedikit. Adapun ganja termasuk barang yang memabukkan, sehingga dalam Islam hukumnya haram.
Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, sempat mengatakan akan mengkaji lebih dalam dari perspektif agama terkait penggunaan ganja untuk medis. Pasalnya, MUI pernah menetapkan Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV Tahun 2012 tentang nikotin sebagai bahan aktif produk konsumtif untuk pengobatan.
"Jika ada kebutuhan yang dibenarkan secara syar'i, bisa saja penggunaan ganja dibolehkan, dengan syarat dan kondisi tertentu. Karenanya, perlu ada kajian mendalam ihwal manfaat ganja tersebut, baik dari sisi kesehatan, sosial, ekonomi, regulasi, serta dampak yang ditimbulkan," ujar Asrorun.
Baca juga: Legalisasi Ganja untuk Medis Akan Dibahas DPR
Baca juga: Santi Minta Ganja Dilegalkan untuk Pengobatan Putrinya
Baca juga: Soal Ganja untuk Medis, Ketua IDI Kota Semarang: Tidak Perlu Dilegalkan
Baca juga: Polda Jateng Dapati Setengah Kilogram Ganja dari Tangan Yulianto dan Deny di Salatiga
Senada dengan Asrorun, Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah, Ahmad Rofiq menegaskan bahwa secara umum ganja maupun jenis-jenis narkoba yang lain masuk kategori barang haram untuk dikonsumsi. Namun ada pengecualian, apabila untuk pengobatan.
"Jika untuk kepentingan medis, misal menghilangkan rasa sakit saat tindakan operasi, maka diperbolehkan dalam kadar tertentu. Pastinya berdasarkan rekomendasi dari dokter," tegasnya.
Rofiq menambahkan, di dalam hukum Islam ada kaidah adh-dharûrât tubîhu l-mahdhûrát artinya keadaan darurat (emergency) dibolehkan menggunakan hal-hal yang terlarang.
"Tapi dengan catatan sesuai dengan kadar yang dibutuhkan saja. Karena kalau sudah tidak darurat lagi, maka kebolehannya kembali menjadi hukum larangan. adh-dharûrât tuqaddaru biqadarihâ artinya keadaan darurat itu ditentukan menurut kadarnya," tuturnya.
Menurut Rofiq, ukuran darurat secara prinsip adalah yang mengancam jiwa. Sehingga ada pengecualian-pengecualian yang bisa diambil dalam memutuskan apakah ganja bisa dilegalkan untuk medis atau tidak.
Meski begitu, Rofiq khawatir jika memang bisa dilegalkan untuk medis akan mempermudah masyarakat untuk mendapatkannya. Maka ia meminta pengawasan secara ketat menggunakan Undang-undang Narkotika yang berlaku di Indonesia.
"Pengawasan dan pengendalian ganja harus diperketat. Karena selama ini kita sudah gunakan UU Narkoba. Jadi kalau mau untuk medis harus dengan resep dokter. Jelas tidak boleh dijual untuk umum," pungkasnya.
Bukan Ganja Utuh
Menurut Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D, menjelaskan bahwa ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi.
Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif. Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya ke arah mental.
Lalu senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.
Ia menuturkan bahwa CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika. Misalnya epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.
