Rupiah Masih Rawan Pelemahan
dalam sepekan terakhir, rupiah di pasar spot mencatatkan pelemahan sebesar 0,24 persen.
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Rupiah berhasil menguat pada perdagangan Jumat (8/7). Di pasar spot, rupiah ditutup di level Rp 14.979 per dollar AS, atau terapresiasi 0,15 persen. Namun, dalam sepekan terakhir, rupiah di pasar spot mencatatkan pelemahan sebesar 0,24 persen.
Hal yang serupa juga dialami rupiah di kurs referensi Jisdor Bank Indonesia (BI). Kurs rupiah Jisdor menguat tipis 0,03 persen ke Rp 14.981 per dollar AS. Walau begitu, dalam sepekan rupiah justru melemah 0,17 persen.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menilai, penguatan rupiah pada Jumat didorong penguatan risk-appetite dari investor. Hal itu sejalan dengan langkah pemerintah Tiongkok mempertimbangkan pemberian stimulus untuk pembiayaan infrastruktur.
“Penguatan rupiah juga didukung proyeksi dari inflasi AS yang mulai turun, sejalan dengan melonggarnya pasar tenaga kerja di AS,” katanya, kepada Kontan, Jumat (8/7).
Hanya saja, dalam sepekan terakhir, kondisi pasar masih diselimuti kekhawatiran investor. Josua menyebut kekhawatiran terkait dengan interest rate differential yang semakin mengecil akibat kebijakan hawkish dari The Fed. Tak pelak, pada periode tersebut, rupiah mencatatkan pelemahan.
Sementara pada pekan depan, ia melihat pergerakan rupiah akan dipengaruhi oleh rilis data ketenagakerjaan AS yang dirilis Jumat malam.
Rupiah juga dipengaruhi rilis data inflasi pekan depan, yang bisa jadi pertimbangan seberapa besar tanda dari resesi AS dan efektivitas kebijakan moneter Fed pada inflasi.
“Rupiah diperkirakan masih cenderung bergerak menguat atau melemah terbatas di kisaran Rp 14.900-Rp 15.050 per dolar AS,” jelas Josua.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira sempat menyatakan, sentimen di pasar uang diakibatkan investor yang tengah mencermati risiko kenaikan suku bunga acuan The Fed terhadap Indonesia, sehingga melakukan penjualan aset berisiko tinggi.
Selain itu, kondisi pasar uang dunia tengah khawatir akibat adanya sinyal resesi ekonomi global. Satu di antaranya proyeksi Citigroup yang menyatakan risiko dunia mengalami resesi kini sebesar 50 persen dalam 18 bulan ke depan.
"Rupiah secara psikologis berisiko melemah ke Rp 15.500-16.000 (per dollar AS) dalam waktu dekat," ujarnya, kepada Kompas.com, Rabu (6/7).
Bhima menuturkan, pemicu pelemahan rupiah yang berlanjut diakibatkan (BI yang masih menahan suku bunga acuan di saat terjadi kenaikan inflasi sebesar 4,35 persen pada Juni 2022.
Seharusnya, menurut dia, BI sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin atau 0,5 persen menjadi 4 persen sejak bank sentral AS naikkan suku bunga acuannya secara agresif.
Tekanan pada nilai tukar rupiah berpotensi berlanjut apabila pemerintah, atau dalam hal ini BI tidak segera merespon dengan menetapkan kebijakan moneter yang tepat.
"Ditahannya suku bunga acuan membuat spread imbal hasil US Treasury dengan surat utang SBN (Surat Berharga Negara) semakin menyempit," ucapnya. (Kontan.co.id/Hikma Dirgantara/Kompas.com/Isna Rifka Sri Rahayu)