Rajapaksa Sempat Kesulitan untuk Kabur, Sri Lanka Umumkan Keadaan Darurat
Protes pecah di seluruh ibu kota Colombo ketika berita mengenai pelarian Rajapaksa tersiar pada Rabu.
TRIBUNJATENG.COM, COLOMBO - Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat pada Rabu (13/7), ketika ribuan orang mengerumuni kantor perdana menteri, setelah Presiden Gotabaya Rajapaksa diketahui telah melarikan diri ke Maladewa.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa telah meninggalkan negara itu, beberapa jam sebelum pengunduran dirinya yang dijanjikan, di tengah protes luas atas penanganannya terhadap krisis ekonomi terburuk negara itu sejak kemerdekaan pada 1948.
Mengutip Al Jazeera, Rajapaksa, istri, dan dua pengawalnya terbang menggunakan pesawat Angkatan Udara Sri Lanka ke Male, ibu kota Maladewa, Angkatan Udara Sri Lanka mengonfirmasi dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu.
Sebelumnya, Rajapaksa sempat meminta kekuatan eksekutif untuk memungkinkan rencana pelariannya. Dalam sebuah pernyataan, Angkatan Udara Sri Lanka juga mengatakan bahwa langkah itu dilakukan di bawah kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh presiden, sebagaimana dilansir NDTV.
“Permintaan pemerintah sesuai dengan wewenang yang diberikan kepada presiden dalam Konstitusi Sri Lanka, Yang Mulia Presiden dan Nyonya bersama dengan dua pengawal dari Bandara Internasional Katunayake ke Maladewa dengan persetujuan penuh dari Kementerian Pertahanan tunduk pada imigrasi, bea cukai, dan semua undang-undang lainnya di Bandara Internasional Katunayake,” kata Direktur Media Angkatan Udara Sri Lanka dalam sebuah pernyataan.
Presiden mengatakan dia akan mengundurkan diri pada hari Rabu untuk memberi jalan bagi pemerintah persatuan setelah puluhan ribu pengunjuk rasa menyerbu kediaman resminya pada hari Sabtu lalu untuk menuntut pengunduran dirinya.
Rajapaksa dan rombongan tiba di Malé, ibu kota Maladewa pada pukul 3 pagi dan disambut oleh Presiden Mohammad Nasheed bersama sang istri di bandara. Diperkirakan, politisi kontroversial itu akan melanjutkan penerbangan ke Uni Emirat Arab (UEA).
Pelarian Rajapaksa dari Sri Lanka sempat menemui sejumlah hambatan. Dia tidak diizinkan naik penerbangan komersial ke Dubai pada Senin lalu, lantaran staf bandara menolak mencap paspornya. India juga menolak memberikan izin bandara militer untuk bisa mengangkutnya.
Rajapaksa dilaporkan sudah berencana kabur dari Sri Lanka sebelum 13 Juli, tanggal yang ia janjikan untuk mengundurkan diri secara resmi. Selama menjabat presiden, Gotabaya Rajapaksa menikmati kekebalan dari penangkapan.
Padahal, telah banyak pengunjuk rasa, aktivis, dan pengacara meminta agar ia dan keluarganya diadili atas dugaan korupsi dan pelanggaran HAM selama dua dekade menguasai Sri Lanka.
Adik presiden, Basil Rajapaksa, yang menjabat sebagai menteri keuangan juga dilarang naik pesawat ke Dubai dalam perjalanan ke AS, di mana ia adalah warga negara ganda. Basil juga dilaporkan telah meninggalkan negara itu pada Selasa malam.
Hingga keberangkatannya pada Rabu, Rajapaksa belum menyerahkan surat pengunduran diri sebagai presiden. Protes pecah di seluruh ibu kota Colombo ketika berita mengenai pelarian Rajapaksa tersiar pada Rabu.
Penjagaan ketat dilakukan di luar kantor Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe. Gas air mata serta meriam air dikerahkan polisi untuk menghalau massa yang berkumpul dan menuntut PM segera mundur.
Berdasarkan konstitusi, jika Rajapaksa mundur, maka PM Wickremesinghe secara otomatis menggantikannya. Namun bagi publik Sri Lanka, Wickremesinghe dinilai sebagai kaki tangan rezim Rajapaksa.
Demonstran menuntut kedua pejabat itu harus pergi. "Pulang Ranil, Pulang Gota," teriak mereka, seperti dilansir CNA.
Polisi menembakkan gas air mata untuk menahan mereka agar tidak menyerbu kompleks itu, dan para pejabat mengumumkan keadaan darurat nasional untuk menangani situasi di negara itu, kata juru bicara perdana menteri, Dinouk Colombage, kepada AFP.
Polisi memberlakukan jam malam tanpa batas di Provinsi Barat, termasuk Colombo, untuk mengatasi situasi, kata seorang perwira polisi senior.
Meniggalkan negara
Rajapaksa terpilih sebagai presiden pada 2019 yang menjanjikan keamanan dan stabilitas. Tetapi, langkah untuk memotong pajak menghabiskan pendapatan pemerintah, dan negara mulai kehabisan bahan bakar, makanan, dan obat-obatan karena tidak mampu lagi mengimpornya.
Presiden dituduh tidak kompeten secara ekonomi, dan opini publik berbalik menentang Gotabaya dan keluarga Rajapaksa yang lebih luas, yang telah mendominasi politik Sri Lanka selama hampir 20 tahun.
Mahinda Rajapaksa mengundurkan diri sebagai perdana menteri pada Mei lalu, setelah protes massal yang dimulai pada Maret berubah menjadi kekerasan.
Cabang lokal kelompok anti-korupsi Transparency International telah mengajukan kasus hukum untuk melarang Gotabaya dan lima orang lainnya, termasuk saudara lelakinya dan mantan menteri keuangan Basil, meninggalkan negara itu. (Tribunnews)