Banyak Mayat Membusuk dan Terbakar di Jalanan Brooklyn, Haiti Darurat Kekerasan
Setidaknya 89 orang tewas dan 16 lainnya hilang dalam kekerasan pekan lalu.
TRIBUNJATENG.COM, CITE SOLEIL - Melonjaknya harga kebutuhan hingga kekurangan bahan bakar memicu kekerasan geng di Ibukota Haiti dalam sepekan terakhir yang telah menewaskan sedikitnya 89 orang. Demikian dilaporkan sebuah kelompok hak asasi pada Rabu (13/7).
Perang antar-geng yang semakin brutal telah menurunkan tingkat keamanan di Haiti. Kerusuhan meletus pada 7 Juli 2022 antara dua faksi yang bersaing di Cite Soleil, sebuah lingkungan miskin dan padat penduduk di Port-au-Prince.
Rentetan tembakan meletus di daerah kumuh itu selama hampir satu minggu. Namun, polisi tidak melakukan intervensi karena kekurangan staf dan peralatan yang tidak memadai.
"Kekerasan tampaknya merupakan hasil dari konfrontasi antara G9 dan geng GPEP," kata juru bicara kantor Perdana Menteri Ariel Henry.
Sementara, organisasi kemanusiaan internasional berjuang untuk mengirimkan pasokan makanan penting dan memberikan perawatan medis kepada para korban.
Ribuan keluarga yang tinggal di daerah kumuh yang bermunculan di sini selama empat dekade terakhir tidak punya pilihan selain bersembunyi di dalam rumah mereka, tidak dapat mengambil makanan atau air.
Banyak rumah dari puluhan penduduk telah menjadi korban peluru nyasar. "Setidaknya 89 orang tewas dan 16 lainnya hilang dalam kekerasan pekan lalu. Selain itu, 74 orang lainnya menderita luka tembak atau sayatan pisau," kata Jaringan Pertahanan Hak Asasi Manusia Nasional, seperti dilansir CNA.
Mumuza Muhindo, kepala misi lokal Doctors Without Borders, mendesak semua pejuang pada hari Rabu untuk mengizinkan petugas medis mengakses Brooklyn dengan aman, sebuah area di Cite Soleil yang paling terkena dampak kekerasan.
Meski berbahaya, menurut dia, pihaknya telah mengoperasi rata-rata 15 pasien sehari sejak Jumat lalu. Ia menyebut, rekan-rekannya telah melihat mayat yang terbakar dan membusuk di sepanjang jalan menuju lingkungan Brooklyn.
Mayat-mayat itu kemungkinan adalah anggota geng tewas dalam bentrokan atau orang yang mencoba melarikan diri. “Ini medan perang yang sebenarnya. Tidak mungkin memperkirakan berapa banyak orang yang terbunuh,” ucap Muhindo.
Cite Soleil adalah rumah bagi terminal minyak yang memasok ibu kota dan seluruh Haiti utara, sehingga bentrokan tersebut berdampak buruk pada ekonomi kawasan dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
SPBU di Port-au-Prince tidak memiliki gas untuk dijual, menyebabkan harga di pasar gelap meroket. Karena marah, para pengunjuk rasa Haiti memblokir jalan-jalan di pusat kota ibukota pada Rabu (13/7) pagi.
Sekelompok pengendara sepeda motor memblokir persimpangan dan beberapa membakar ban, kata saksi mata kepada Reuters.
Sementara penduduk hanya dapat melakukan perjalanan singkat dengan sepeda motor di lingkungan mereka, menurut wartawan AFP di tempat kejadian.
Hal itu semakin memperumit situasi mereka yang sudah berbahaya selama beberapa tahun terakhir.
Haiti telah menyaksikan gelombang penculikan massal, ketika geng-geng menculik orang-orang dari semua lapisan masyarakat, termasuk orang asing, dari jalanan.
Didorong oleh kelambanan polisi, geng-geng menjadi semakin berani dalam beberapa pekan terakhir. Setidaknya 155 penculikan terjadi pada Juni, meningkat dari 118 orang pada Mei, menurut laporan yang dirilis oleh Pusat Analisis dan Penelitian Hak Asasi Manusia yang dirilis Rabu.
Kemiskinan yang menghancurkan dan kekerasan yang meluas menyebabkan banyak orang Haiti melarikan diri ke Republik Dominika, yang berbatasan dengan Haiti, atau ke Amerika Serikat.
Tanpa uang dan tanpa visa, banyak dari mereka mempertaruhkan hidup mereka dengan menaiki perahu darurat dengan harapan mencapai Florida.
Banyak yang berakhir di Kuba atau Bahama, atau dihentikan di laut oleh otoritas Amerika Serikat dan kembali ke rumah. Lebih dari 1.200 migran tidak berdokumen dikirim kembali ke Haiti pada Juni saja, menurut angka pemerintah.
Ketika mereka kembali, mereka harus menghadapi kemiskinan yang mereka coba hindari dan inflasi tahunan sebesar 20 persen, dengan para ekonom memperingatkan bahwa hal itu bisa melonjak lebih jauh hingga 30 persen, karena gema global perang Rusia di Ukraina.
"Kami melihat peningkatan kelaparan yang signifikan di ibu kota dan di selatan negara itu, dengan Port-au-Prince yang paling terpukul," kata Jean-Martin Bauer, direktur Program Pangan Dunia (WFP), Selasa (12/7).
Hampir setengah dari 11 juta penduduk Haiti sudah menghadapi kekurangan pangan, termasuk 1,3 juta orang yang menghadapi darurat kemanusiaan, yang mendahului kelaparan, menurut perhitungan PBB.
Namun, kekerasan juga mengganggu upaya untuk membantu mereka. WFP sudah mencoba melewati wilayah Port-au-Prince, berusaha mengirimkan bantuan ke selatan dan utara negara itu melalui udara dan laut. (Tribunnews)