Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

Opini Sumarwanto: Menakar Moral Calon Pemimpin Bangsa dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan . .

Makna hakikat dari syair tersebut adalah bahwa membangun jiwa merupakan prioritas utama, disusul dengan membangun badan atau raga yang menjadi wadah d

Editor: m nur huda
Tribun Jateng
Opini Ditulis Oleh Sumarwanto (Arsitek, Penggiat Budaya Spiritual Nusantara, Dosen, dan Penulis Buku Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Budi Pekerti, Untag Semarang) 

Menakar Moral Calon Pemimpin Bangsa dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan YME

Opini Ditulis Oleh Sumarwanto (Arsitek, Penggiat Budaya Spiritual Nusantara, Dosen, dan
Penulis Buku Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Budi Pekerti, Untag Semarang)

TRIBUNJATENG.COM - “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya...” Demikianlah penggalan bait syair lagu kebangsaan Indonanesia Raya, ciptaan WR Supratman yang selalu dikumandangkan pada setiap acara resmi kenegaraan dan upacara pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih di kantor-kantor dan sekolah di seluruh negeri ini.

Makna hakikat dari syair tersebut adalah bahwa membangun jiwa merupakan prioritas utama, disusul dengan membangun badan atau raga yang menjadi wadah dari jiwa tersebut. Membangun jiwa pada dasarnya adalah membangun moral, mental, dan karakter seorang manusia.

Sayangnya, syair lagu itu belum sepenuhnya tercermin pada manusia Indonesia, khususnya para pemimpin bangsa, hingga timbulnya krisis keteladanan dan keterpurukan negeri ini, dengan banyaknya kasus yang menjerat para petinggi di Republik ini.

Yang menjadi penyebab utamanya adalah faktor degradasi moral yang semakin parah, dan kecenderungan semakin menipisnya jati diri ke-Indonesiaan kita. Revolusi mental yang telah dicanangkan oleh pemerintah hingga saat ini masih sebatas slogan. Belum jelas dan belum terasakan hasilnya.

Sejatinya, para pimpinan negara, para pemimpin daerah dan para pemangku kebijakan haruslah mampu menjadi pemimpin berkarakter 'Satria Pinandhita'. Sebagai seorang 'satria', dituntut untuk memiliki kompetensi yang meliputi kecerdasan intelektual, integritas, manajerial, ketatanegaraan, dan strategi dalam menghadapi arus globalisasi, serta rongrongan baik dari luar maupun dari dalam negeri yang berpotensi menghancurkan keutuhan NKRI.

Sebagai seorang 'pandhita', haruslah dapat menunjukkan dan meneladankan perilaku budi pekerti luhur, seperti sikap relijius, welas asih, jujur, adil, bijaksana, menghargai dan menghormati, serta peduli terhadap sesama.

Mempunyai kesadaran sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berkewajiban untuk 'Memayu Hayuning Bawana', menjaga keutuhan, keasrian, serta kelestarian lingkungan hidup, dengan berkomitmen menjaga lingkungan hidup di mana ia tinggal.

Manusia seutuhnya

Sebutan 'manusia seutuhnya' dapat mewakili seorang yang berkarakter Satria Pinandhita, yang berarti utuh dan seimbang, baik yang bersifat horizontal dalam urusan keduniawian, dan vertikal yang bersifat batiniah yang terhubung dengan Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa (YME).

Sebagai seorang pemimpin yang berkarakter Satria Pinandhita harus senantiasa menunjukkan, menerapkan, dan meneladankan sikap terpuji yang didasarkan pada ajaran budi pekerti luhur.

Hal ini karena terdorong dari hati nuraninya yang selalu terhubung dengan frekuensi keillahian yang bersumber dari Tuhan YME yang bersifat menuntun dan memberikan enlightenment, pencerahan yang selalu mengarahkan kepada kebaikan.

Hangatnya suhu atmosfer politik yang saat ini sudah mulai terasakan merupakan sinyal yang menandai akan berlangsungnya perhelatan akbar pemilu pada 2024.

Tentunya para kandidat tersebut masing-masing telah menyiapkan dirinya untuk berkontestasi dengan mengerahkan seluruh daya dan kemampuan agar dapat menjadi pemenang.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved