Berita Semarang
WAWANCARA DR M JUNAIDI :Pemerintah Harus Sahkan dan Pahamkan Masyarakat Limitasi Pasal Krusial
Berikut ini wawancara dengan DR M Junaidi SHI, MH, Ahli Hukum Tata Negara dan Wakil Rektor III USM tentang Mencermati Pasal-pasal Krusial RUU KUHP
Penulis: rahdyan trijoko pamungkas | Editor: Catur waskito Edy
Ada pasal tentang Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, bagaimana itu Pak Jun?
Pandangan saya jika pejabat publik harus bermatabat saya sependapat. Tapi bagaimana potensi masyarakat jika membaca ini. Ujung-ujungnya nanti untuk menyerang orang-orang yang tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah. Itulah kekhawatirannya.
Penjelasannya bagaimana Pak Jun?
Jadi konteksnya adalah pasal itu harus ada dan harus ada limitasinya. Contohnya jika hal itu dilaporkan deliknya adalah delik aduan.
Jika yang dimasukkan kategori menghina harus diklasifikasikan jenis-jenisnya apa saja. Jadi jangan sifatnya umum masyarakat bisa menduga-duga atau istilah hukumnya patut diduga. Kalau seperti ini harus ada limitasinya. Hal ini untuk membatasi pelanggaran HAM tidak terjadi.
Perlu diketahui 80 persen UUD 1945 isinya adalah HAM. Tugas pemerintah saat ini dengan RUU KUHP adalah menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) terjaga sebaik-baiknya.
Apakah benar ada pasal larangan mengkritik pejabat negara?
Kata dalam RUU KUHP seingat saya adalah menghina. Sangat berbeda dengan kata mengkritik. Tapi konsepnya orang yang mengkritik ini dikategorikan menjurus menghina.
Saya merasa limitasi batasannya. Jika limitasinya tidak diterapkan jangan sampai masyarakat menolak tapi RUU disahkan. Ini akan menjadi problem. Karena hukum sesuai kehendak masyarakat.
Jadi kapan idealnya RUU disahkan?
Jika kita membaca UUD 1945 kedaulatan di tangan rakyat dan dijalankan dengan UUD 1945. Kehendak masyarakat seperti apa? Jika masyarakat belum menerima jangan disahkan. Tetapi kalau pemerintah mampu menjelaskan dan memformulasikan limitasinya (batasannya) serta bisa dijalankan masyarakat, menurut saya tidak masalah.
Beberapa pasal yang menjadi polemik adalah masalah santet. Sebab masalah santet menjadi polemik di masyarakat.
Saya ingat seminar Mahfud MD masalah santet yang dihadiri akademisi. Ditanya soal santet mereka menjawab tidak setuju. Sampai pemateri memanggil dukun santet dan menunjukkan magic memindahkan lele di kelapa dan dipecah kelapa ada.
Dukun santet itu bilang siapa tidak percaya ada lele kecil ini. Kalau tidak percaya saya masukkan ke dalam perut. Hingga akhirnya hadirin pada setuju.
Jadi berbicara hal itu, kita berbicara kesadaran hukum. Pemerintah dalam kapasitasnya harus menjelaskan kepada masyarakat betapa penting rumusan norma-norma itu dimasukkan dalam RUU KUHP, kepastian hukum ada, dan hak-hak masyarakat terjamin.