Fokus
Fokus: Cemerlang di U-16, Meredup di Level Senior
Suporter Indonesia dibarengi tabuhan dan tepukan tangan saat mendukung Timnas U-16 Indonesia dalam laga final Piala AFF U-16 2022melawan Vietnam U-16,
Penulis: galih permadi | Editor: m nur huda
Tajuk Ditulis Oleh Jurnalis Tribun Jateng, Galih Permadi
TRIBUNJATENG.COM - "Indonesia! Indonesia! Indonesia," demikian teriakan sekitar 30 ribu suporter Indonesia dibarengi tabuhan dan tepukan tangan saat mendukung Timnas U-16 Indonesia dalam laga final Piala AFF U-16 2022melawan Vietnam U-16, Jumat (12/8/2022) malam.
Patut disyukuri, pertandingan yang digelar di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta itu dimenangkan Indonesia dengan skor 1-0 dan menghantarkan Garuda Muda juara setelah menanti empat tahun lamanya.
Adalah Muhammad Kafiatur Rizky menjadi pencetak gol tunggal ke gawang Vietnam. Bola hasil tendangan plesing kaki kiri Kafiatur ke kanan gawang tak mampu dibendung penjaga gawang Vietnam, Pham Dinh Hai.
Pada gelaran AFF U-16 2018, Bagus Kahfi dkk menjuarai gelaran sepakbola tingkat ASEAN. Bahkan skuad waktu itu nyaris melaju ke Piala Dunia U-17 2019jika tidak dikandaskan Australia di Perempatfinal Piala Asia U-16 2018dengan skor 2-3.
Demikian senior Kafiatur, Timnas U-19 Indonesia yang digawangi Evan Dimas meraih juara Piala AFF U-19 2013dan Piala AFF U-22 2019. Indonesia nyaris ke Piala Dunia U-20 2019jika lajunya tak terhadang Jepang di perempatfinal Piala Asia U-19 2018dengan skor 0-2.
Di tingkat Timnas Senior, Indonesia nirprestasi baik di tingkat ASEAN atau ASIA. Bahkan skuad Garuda Muda tak banyak menghuni skuad Timnas Senior.
Era Evan Dimas, Shin Tae-yong seringkali memanggil Evan Dimas di Timnas Indonesia. Di Kualifikasi Piala Asia 2023, Shin Tae-yong hanya memanggil Dimas Drajad.
Sementara di era Bagus Kahfi, Shin Tae-yong hanya mempercayakan Ernando Ari Sutaryadi. Skuad Garuda Muda sejalan waktu banyak meredup di tingkat senior sejurus dengan minimnya prestasi Timnas Senior.
Terputusnya jenjang kompetisi usia muda yang digelar secara profesional menjadi satu penyebab potensi pemain muda tak tersalurkan. PSSI menggelar liga yang tidak bersahabat untuk para pemain muda. Hal ini tidak adanya pembinaan yang baik bagi pemain muda. Mereka minim kesempatan bermain dan harus betah di bangku cadangan.
Padahal, pemain muda membutuhkan jam terbang bermain yang dapat meningkatkan kualitas performanya. Buktinya, Shin Tae-yong mengaku kewalahan mencari sosok striker karena selama ini di liga banyak dihuni striker luar negeri.
Bahkan Shin Tae-yong heran pemain sekelas Timnas Indonesia yang ia pilih banyak menjadi pemain cadangan di Liga 1. Ia berharap budaya tersebut bisa dihilangkan demi pengembangan sang pemain.
Selain itu, faktor kedisiplinan pemain juga menjadi penyebab pemain mati sebelum berkembang. Pelatih Timo Scheunemann dan Shin Tae-yong sepakat dengan kurang disiplinnya pemain Indonesia.
Salah satu ketidakdisiplinan yang dimaksud yakni banyaknya pemain berlabel profesional dan timnas bergaya hidup amatiran tidak menjaga konsumsi makanan yang sesuai. Dan ini merupakan salah satu bentuk pembinaan pemain sejak usia dini.
Pembinaan, kata Coach Timo, adalah fondasi timnas senior dan di Indonesia pembinaan tidak berjalan dengan baik dan sistematis. Alhasil kegilaan masyarakat Indonesia kepada sepakbola dan jumlah penduduk Indonesia yang begitu banyaknya tidak menghasilkan apa-apa.
Tentu berharap Kafiatur dkk tidak mengulang nasib para seniornya: cemerlang di U-16, meredup di level senior. PSSI pun harus segera sadar untuk berubah melakukan pembinaan pemain sejak usia dini dan usia muda, agar sepakbola khususnya Timnas Senior segera berprestasi. (*/tribun jateng cetak)