Berita Banyumas
Ada Luka di Balik Indahnya Tarian Lengger Banyumas
Lengger kesenian tari tradisional yang berkembang di wilayah Banyumas dan sekitarnya.
Penulis: Imah Masitoh | Editor: sujarwo
TRIBUNJATENG.COM, BANYUMAS - Lengger adalah kesenian tari tradisional yang berkembang di wilayah Banyumas dan sekitarnya.
Pengertian Lengger memiliki beragam versi.
Ada yang menyebut, Lengger berasal dari kata ‘leng’ yang berarti lubang dan ‘ngger’ atau jengger yang berarti kejantanan.
Hingga keseluruhan diartikan, “dikira Leng ning Jengger” (dikira lubang ternyata Jengger), alias dikira perempuan ternyata laki-laki. Tak ayal kesenian lengger ini disebut sebagai bentuk kebudayaan lintas gender (cross-gender). Sebab seni tari ini dapat dibawakan baik perempuan maupun laki-laki.
Namun faktanya, eksistensi Kesenian Lengger meredup tergerus zaman. Kesenian itu mulai jarang dimainkan. Rina warga asal Pekunden yang menyukai lengger mengakui eksistensi kesenian itu sekarang beda era kejayaannya dulu. Ia menyebut kesenian lengger sekarang hanya ditemui pada saat acara tertentu saja.
“Jarang nonton lengger paling kalau ada acara saja. Saat ini tanggapan lengger sudah jarang sekali. Waktu saya masih kecil tahun 1990 sering sekali lengger di tanggap masyarakat,” ucapnya.
Lengger adalah kesenian rakyat yang lahir dari kalangan masyarakat petani pada zaman dahulu. Wajar penikmat kesenian ini umumnya dari kalangan masyarakat jelata.
Namun belakangan, apresiasi warga terhadap kesenian Lengger semakin berkurang. Nik Hayatni warga Desa Sokawera, Patikraja melihat masyarakat saat ini hanya mau menonton pertujukan lengger (penonton), dibanding mengundang (nanggap) atau membiayai penampilan grup lengger.
“Kalau nonton kan gratis dari pada nanggap harus mengeluarkan uang. Menontonpun bagi yang senang kalau yang gak senang gak nonton,” ujarnya.
Suasana pertunjukan lengger juga dilihatnya kini berbeda. Dulu pertunjukkan lengger ramai penonton dari berbagai kalangan usia dengan posisi penonton menyebar ke segala penjuru. Pertujukan lengger sekarang lebih sering dikemas dalam acara dengan penonton lebih teratur, misal di dalam gedung atau tempat khusus.
“Sekarang biasanya ada yang mengatur dari Satpol PP. Kalau yang dulu awur-awuran gak kaya sekarang lebih teratur karena ada panitianya,” ungkapnya.
Citra Negatif
Lengger yang kental dengan dunia mistis disertai ritual-ritual khusus penari dipandang negatif oleh sebagian orang. Hingga adat itu dipertentangkan dengan norma agama.
Meskipun tidak semua penari lengger kini masih menjalankan ritual-mistis seperti dilakukan leluhur mereka. Sebab kebanyakan penari lengger sekarang dari kalangan pelajar yang menekuni lengger dengan mempelajari tarian atau gerakannya saja.

“Waktu dulu lengger masih sakral dan mistis kental. Kalau dulu ceritanya bisa menggaet suami orang, mungkin itu yang dilihat dari sisi negatifnya,” katanya.
Penampilan seorang lengger yang dinilai mengundang syahwat menambah stigma buruk kesenian itu. Lengger pada umumnya memang menggunakan kemben (mekak), bawahan jarit, dengan kalung selendang sehingga terlihat agak terbuka.
Sebagian masyarakat mungkin kurang suka dengan gaya busana penari lengger yang demikian. Namun sebagian masyarakat lain tidak mempermasalahkan karena menganggapnya sebagai tradisi.
Saat ini pun sudah ada beberapa modifikasi cara berpakaian lengger, seperti menggunakan kebaya atau manset sehingga terlihat lebih tertutup. Terkait gaya berbusana ini, penari biasanya juga menyesuaikan permintaan pengundangnya.
Ini juga pernah dialami lengger lanang Otniel Tasman. Pada suatu undangan untuk mengisi acara keagamaan, pihaknya diminta untuk menampilkan gaya berpakaian lebih tertutup.
"Saat itu menggunakan mekak dibalut dengan ronce melati tapi tetap geol-geol," ungkapnya.
Eksistensi Lengger saat ini menghadapi sejumlah tantangan. Karena itu, menurut Kepala Bidang Kebudayaan Dinporabudpar Kabupaten Banyumas, Edi Saptono, modifikasi dan inovasi baru dari kesenian-kesenian tradisional adalah upaya untuk membuatnya lebih menarik bagi masyarakat saat ini.
Misalnya, perpaduan tari ebeg dan lengger atau yang disingkat Beger. Ini salah satu contoh bentuk kreatifitas seniman dalam menjaga eksistensi kesenian lengger. Bukan hanya adegannya, ia juga menganggap sah- sah saja terhadap adanya modifikasi busana lengger.
"Lengger berinovasi dalam pakaian tidak apa-apa. Disisi lain mereka menggiatkan lengger disisi lain dia taat dengan agamanya," ucap Edi.
Beratnya Jadi Lengger Lanang
Kehadiran lengger lanang pada kesenian ini juga kontroversial di masyarakat. Sesuai namanya, Lengger Lanang adalah tarian dengan gerak perempuan namun dimainkan oleh laki-laki. Bukan hanya mendapat stigma dari masyarakat, keputusan menjadi penari lengger lanang juga mendapat perlawanan dari keluarga.
Otniel Tasman misalnya, pemuda yang akrab dipanggil Otnel ini merupakan pelaku lengger lanang di Banyumas. Pria kelahiran 25 Januari 1989 itu mengaku cinta dunia tari sejak kecil.
Ia bahkan serius ingin melanjutkan pendidikan kesenian di SMK Negeri 3 Banyumas. Namun keinginannya untuk melanjutkan pendidikan kesenian menuai hambatan dari keluarga yang tidak menyukai dia menari.

Tari-tarian tradisional dianggap tarian yang mengandung mistis dan bertentangan dengan agama Kristen yang mereka anut.
Orang tua Otniel mengarahkannya menempuh Sekolah Menengah Atas (SMA) dari pada mengambil jurusan tari di SMK. Namun Otniel bersikukuh meyakinkan orang tuanya bahwa keputusannya benar dan bisa dipertanggungjawabkan.
“Ada pertentangan dari orang tua pas mau masuk SMKI sekitar 1-2 bulan. Saya bisa membuktikan bahwa menari itu bisa mejadi uang. Akhirnya orang tua bisa menerima itu,” ungkap Otniel.
Tak hanya selesai di SMK, ia membuktikan keseriusannya terhadap dunia tari dengan melanjutkan pendidikan jenjang strata 1 dan 2 di ISI Solo.
Ia sudah kenyang dengan cibiran orang terkait dunia yang digelutinya. Anggapan umum, laki-laki tidak pantas menari lengger. Namun ia sudah kebal karena terbiasa sejak kecil terhadap omongan semacam itu. Toh ia melihat, pada kesenian lain, ebeg (kuda lumping) misalnya, penarinya juga lintas gender, laki-laki dan perempuan.
“Ada kepikiran laki-laki kok nari. Tapi ya cuma beberapa waktu saja. Ebeg pun suka ada yang perempuan. Dari kecil saya sudah bisa melihat laki-laki ataupun perempuan bisa menarikan apa saja,” jelasnya.
Muhammad Yusuf, lengger lanang asal Kabupaten Pemalang punya pengalaman sama. Ia tertarik lengger sejak kecil karena sering ada pertunjukan lengger di desanya. Hingga ia bertekad bersekolah di SMKI Banyumas (SMK N 3 Banyumas) yang sudah terkenal dengan jurusan seninya hingga lanjut kuliah di ISI Solo.
Keputusannya menekuni lengger tidaklah mulus karena dihadapkan pada masalah gender equality (kesetaraan gender).
Ia bahkan kerap dituding memiliki penyimpangan seksual karena hobinya menari. Label bencong atau banci disematkan pada dirinya meskipun dalam kesehariannya ia tetap laki-laki normal seperti pria pada umumnya.
"Padahal kalau jadi lengger itu hanya opsional di panggung saja. Tidak sampai pada dunia nyata," imbuhnya.
Namun mentalnya sudah terlatih menghadapi cibiran itu. Masalah itu tak lagi digubrisnya.
Karena Lengger, menurut ia, bukan sekadar seni menggerakkan tubuh. Ia merasa bisa mempelajari inti dasar lengger. Dulunya lengger sebagai upacara ritual syukuran. Dari situ ia menganggap lengger bisa sebagai media ibadah, meditasi, dan penenangan diri.
"Dari titik balik itu saya bisa menerima. Ini yang menjadi dasar saya bertahan dan meyakini bahwa lengger itu bukan hal yang salah," ungkapnya.
Piko Prasetyo bukan hanya lincah menari, ia juga menjadi sinden dan cucuk lampah. Anggapan miring tentang lengger lanang diakuinya ada. Namun menurutnya, sebagian masyarakat justru mengagumi lengger lanang dengan sisi kelebihannya.
Pementasan lengger lanang menjadi hal unik. Ini karena tidak semua laki-laki dapat menari lengger dengan ciri khas geol dan gerakan luwes lainnya.
"Ngga papa karena rejeki dari situ, karena mereka hanya menari saja," tutur Nik Hayatni.
Lengger tak Berkembang di Desa Sang Maestro
Kecintaan pada dunia seni membuat Sirwan memiliki semangat dalam menghidupkan kembali lengger ditempat kelahirannya. Terlebih Sirwan adalah salah satu kerabat terdekat (cucu) dari tokoh maestro lengger legendaris Mbah Dariah.
Mbah Dariah lahir di Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas dengan nama kecil Sadam. Hingga akhir hayatnya Mbah Dariah mendedikasikan hidupnya untuk menjadi seorang lengger. Mbah Dariah meninggal dunia tahun 2018 silam dalam usia 98 tahun. Ia dimakamkan di Desa Plana, Somagede, Kabupaten Banyumas.

Ia merasa terlambat mengangkat Lengger di daerahnya yang merupakan tempat kelahiran dan kematian sang maestro lengger.
"Saya tersadar, walaupun dulu saya tidak tertarik sekarang sadar Mbah Dariah adalah sosok yang terkenal dan fenomenal. Kenapa saya tidak pernah mengangkat, walaupun ini terlambat tapi saya berusaha untuk menjaga eksistensi sebuah lengger," ungkapnya.
Meski bukan penari lengger, Sirwan sering membina anak-anak muda dalam berlatih calung ataupun tari-tarian baik di rumahnya sendiri maupun di Sanggar Rumah Lengger.
Tidak ada dukungan baik dari masyarakat maupun pemerintah setempat menjadi tantangan tersendiri baginya. Masyarakat di tempatnya tidak begitu tertarik terhadap kesenian ini.
Ia mengaku ada saja yang mencibir ketika mengadakan latihan seni tradisi di rumahnya.
"Ada kadang yang suka menyindir, dibilang suka buat heboh. Faktanya ini yang sedang saya lakoni saat ini. Latihan saja dibilang berisik," ujar Sirwan.
Saat ini Sirwan berusaha untuk mendapatkan surat keputusan dari desa yang menyatakan kelompok kesenian rintisannya mendapat pengakuan dari Desa.
Hanya bermodal percaya diri Sirwan bertekad menggiatkan kesenian lengger meskipun belum mendapat dukungan dari masyarakat setempat. Sirwan mempercayai suatu saat nanti mata mereka akan terbuka untuk sadar tentang kesenian lengger ini.
"Saya tetap percaya pasti ada titi wancine (telah tiba waktunya)," tukasnya. (*)