Berita Nasional
Catatan Sejarah, Brigadir Djani Jadi Tumbal Tewasnya Rene Conrad, Mirip Bharada E
Kasus anggota kepolisian jadi tumbal kekuasaan terjadi di era kepemimpinan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, tahun 1972.
Di periode awal kekuasaannya, Soeharto melarang pria memiliki rambut gondrong.
Sebuah kebijakan yang saat di lapangan dieksekusi oleh apara kepolisan, berikut para tarunanya, dengan kerap merazia dan menggunting langsung rambut dari pemuda gondrong.
Tentu saja hal ini mendapat tentangan keras dari para mahasiswa yang menganggap kebijakan tersebut memerkosa hak-hak azazi setiap orang.
Di tengah polemik yang kian memanas antara mahasiswa dan kepolisian (khususnya taruna), tiba-tiba muncul ide untuk melangsungkan pertandingan sepak bola persahabatan.
Tepat pada 6 Oktober 1970 di tengah kampus ITB, pertandingan antara mahasiswa ITB dan taruna Akabri Kepolisian yang berasal dari Sukabumi.
Keunggulan 2-0 yang diraih tim ITB membuat para mahasiswa semakin percaya diri melontarkan sindiran-sindiran pedas kepada para taruna Akpol.
Bentrokan pun tak terhindarkan hingga sempat memicu adanya suara tembakan, sebuah keadaan yang membuat pihak ITB murka karena melanggar kesepakatan untuk tidak membawa senjata.
Para taruna Akpol tersebut pun diusir. Hal itu melengkapi kemuraman taruna Akpol hari itu setelah kalah dalam pertandingan dan disindir habis-habisan oleh para mahasiswa.
Dalam perjalanan pulang, di sekitar Jalan Ganesha, iring-iringan taruna Akpol itu berpapasan dengan seorang mahasiwa ITB bernama Rene Louis Conrad.
Rene yang saat itu sedang mengendarai Harley Davidson disebut-sebut diludahi oleh salah seorang di dalam bus para taruna.
Tak ayal hal tersebut memicu amarah Rene yang kemudian menantang para taruna tersebut turun.
Bak lupa posisi mereka sebagai calon pengayom masyarakat, para taruna akpol tersebut meladeni tantangan Rene dengan mengeroyoknya.
Tak puas dengan mengeroyok satu orang mahasiswa ITB, salah seorang Taruna Akpol kemudian mengunakan senjata apinya untuk menembak dan menewaskan Rene Louis Conrad.

Peristiwa ini jelas mencoreng wajah Polri yang kala itu dipimpin oleh sosok kharismatik, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso.
Ketegasan dan kejujuran Hoegeng pun segera mengusut kasus yang sempat membuat polisi dan para taruna dilarang keluar dari barak tersebut.