Opini
Opini Y Bangun Widadi: Peran Strategis Pramuka dalam Kurikulum Merdeka
Lagu yang amat agung, terlebih kala dinyanyikan saat peringatan hari pramuka. Peringatan yang selalu beriringan dengan peringatan tersakral bangsa Ind
Opini Ditulis Oleh Y. Bangun Widadi, MPd (Guru di SMAN 1 Bringin Kabupaten Semarang)
TRIBUNJATENG.COM - “Kami pramuka Indonesia, manusia Pancasila ...” merupakan sepenggal kalimat pada syair hymne pramuka.
Lagu yang amat agung, terlebih kala dinyanyikan saat peringatan hari pramuka. Peringatan yang selalu beriringan dengan peringatan tersakral bangsa Indonesia. Apalagi untuk tahun ini yang tidak hanya terkait kelahiran RI tercinta, namun menjadi peringatan perdana di pasca pandemi dan momentum perubahan sistem pendidikan, kurikulum merdeka.
Dalam konteks kemerdekaan, tidak dipungkiri bahwa spirit para pandu atau pramuka saat itu telah turut menggelorakan semangat patriotik sebagai pejuang yang membidani lahirnya bangsa ini. Apakah spirit ini akan selalu memposisikan kepanduan atau gerakan pramuka sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam upaya mewariskan nilai-nilai nasionalisme dan semangat juang kepada generasi muda? Lalu, bagaimana peran pramuka sebagai bagian integral sistem pendidikan dalam kurikulum merdeka?
Momentum 6161
Sejarah kepramukaan di tanah air tidak terlepas dari gerakan kepanduan yang lahir sebelum kemerdekaan. Kepanduan kala itu terkait dengan upaya sporadis bersama, dan menjadikannya sebagai wadah atau organisasi mempersatukan para pemuda bangsa yang berjuang lepas dari cengkeraman penjajah.
Awalnya, kepanduan saat itu lebih berbasis kelompok religius, kedaerahan atau kebangsaan seperti pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul Wathan (HW), Kepanduan Islam Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri Darma (Kristen), Kepanduan Asas Katolik Indonesia (KAKI), Kepanduan Masehi Indonesia (KMI), juga JJP (Jong Java Padvinderij), Pandoe Pemoeda Sumatra (PPS) Pandu Indonesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (POP), Pandu Kesultanan (PK), dan Sinar Pandu Kita (SPK) dan Nationale Padvinders (NP), Nationaal Indonesische Padvinderij (NATIPIJ), Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI). Dan upaya penyatuan organisasi pandu secara nasional diawali dengan lahirnya INPO (Indonesische Padvinderij Organisatie).
Dan setelah kemerdekaan, presiden Sukarno memandang lagi perlunya penyatuan dan pembaharuan organisasi kepanduan, termasuk metode dan aktivitasnya untuk dilebur menjadi satu yang disebut praja muda karana, disingkat Pramuka.
Juga muncul pandangan akan perlunya pendidikan dan kepramukaan bersatu. Untuk itu, melalui proses pembahasan yang panjang sampai akhirnya pada 14 Agustus 1961 pertama kali dilantik majelis pimpinan nasional (mapinas) gerakan pramuka dengan ditandai penganugerahan panji-panji gerakan pramuka sehingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari pramuka. Dengan demikian, peringatan hari pramuka tahun ini bertepatan dengan peringatan yang ke-61 hari pramuka yang dimulai tahun 1961 itu sebagai momentum 6161.
Kurikulum Merdeka
Kurikulum merdeka yang diberlakukan mulai tahun pelajaran ini dilatarbelakangi oleh kurang efektifnya sekolah/pembelajaran di masa pandemi. Kegiatan pembelajaran dari rumah yang menjadi kebijakan terbaik masa itu memaksa transformasi moda pembelajaran tatap muka ke dalam moda daring atau online.
Pembelajaran daring dari rumah masing-masing dengan interaksi tak langsung di dunia maya, menghadirkan relasi sosial semu dan menihilkan sekolah sebagai miniatur masyarakat.
Sebagai miniatur masyarakat, sekolah dengan berbagai kegiatan pembelajaran pada hakekatnya tidak sekedar wahana untuk transfer ilmu pengetahuan, namun juga menjadikan pembelajaran sebagai lahan persemaian nilai-nilai sosial yang kelak harus dimiliki peserta didik dalam mengarungi hidup nyata di masyarakat, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tiadanya minatur pada masa pandemi itu menjadikan nilai-nilai sosial seperti gotong-royong, saling menghormati, respek dan empati serta kegiatan latihan komunal-budaya menjadi tidak terasah dan tertanam dalam diri peserta didik yang dikhawatirkan memunculkan generasi asosial, generasi yang tidak dijiwai nilai-nilai sosial, kebersamaan bahkan generasi yan melupakan budaya dan jatidiri bangsa, termasuk ditinggalkannya nilai-nilai ideologi Pancasila. Hilangnya peran sekolah inilah yang menjadi kekhawatiran utama disamping reduksi pembelajaran (learning loss) dan potensi peserta (potential loss) yang telah terjadi.
Implementasi kurikulum merdeka diharapkan sebagai tindakan kuratif pembelajaran, ditekankan pada pembelajaran bermakna melalui berbagai pengalaman kolektif nyata di sekolah maupun di tengah masyarakat dengan menerapkan pembelajaran terdiferensasi dengan segala perbedaan spesifik peserta didik, serta berbasis proyek yang kesemuanya bermuara pada pembentukan profil pelajar pancasila.