Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Fokus

FOKUS: Ladang Korupsi Sudah Berpindah Ke Desa

Entah BLT yang bersumber dari dana desa, penanganan covid-19 hingga yang banyak terjadi baru-baru ini adalah pemotongan kompensasi kenaikan harga BBM.

Penulis: m nur huda | Editor: m nur huda
Dok
Tajuk Ditulis Oleh Jurnalis Tribun Jateng, M Nur Huda. 

Tajuk Ditulis Oleh Jurnalis Tribun Jateng, M Nur Huda

TRIBUNJATENG.COM - Berita pemotongan Bantuan Langsung Tunai (BLT) terus mencuat sejak dibukanya keran peluang desa berwenang menyalurkan dana ke penerima. Entah BLT yang bersumber dari dana desa, penanganan covid-19 hingga yang banyak terjadi baru-baru ini adalah pemotongan kompensasi kenaikan harga BBM.

Terbaru, pemerintah menyalurkan BLT BBM Rp 300 ribu untuk September, dan BLT Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) September 2022 sebesar Rp 200 ribu. Sehingga, total BLT yang diberikan untuk setiap orang bulan ini Rp 500 ribu.

Modus pemotongan beragam, ada yang berdalih untuk keperluan administrasi, dialokasikan untuk pembangunan fasilitas umum, tempat ibadah, dan lain-lain. Nominalnya pun juga beragam, mulai Rp 20 ribu hingga Rp 100 ribu perpenerima.

Pengakuan dari sejumlah penerima, mereka dipaksa untuk ‘ikhlas’ dipotong nominal BLT yang diterima. Jika menolak, biasanya ancaman yang diberikan oleh perangkat desa adalah data penerima tersebut akan dicoret sebagai calon penerima BLT berikutnya.

Tentu ancaman tersebut bagi warga di desa terutama yang masuk kategori warga miskin versi BPS, Kemensos maupun Kemendes PDTT, sangat berarti. Di sinilah pentingnya validasi dan verifikasi data yang dilaporkan pemerintah desa. Data yang disetorkan ke pemda harus betul-betul dicek di lapangan.

Upaya pemerintah pusat hingga pemerintah daerah untuk mengingatkan para kepala desa agar tidak memotong BLT sudah sering dilakukan di berbagai forum. Namun, upaya tersebut nampaknya masih dipandang sebagai acara seremonial.

Ini baru satu jenis berupa BLT, padahal ada banyak jenis bantuan dari berbagai sektor yang disalurkan melalui pemerintah desa.

Khusus untuk pengelolaan dana desa, sering ditemukan modus korupsi yang dilakukan. Biasanya menggunakan cara lama yaitu mark up anggaran, penggelapan kegiatan atau program fiktif, atau pemotongan anggaran.

Contoh, program pembangunan dan pengadaan barang, pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran jauh lebih mahal dibanding standar teknis pembangunan. Kemudian saat pelaksanaan, volume barang dikurangi, selanjutnya barang yang dibeli spesifikasinya tak sesuai.

Maka, wajar jika Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK RI, Brigjen Pol Kumbul Kusdwijanto menyebut, korupsi tidak hanya ditingkat pusat tapi juga di pelosok desa.

Ia menyebut, Pemerintah telah mengucurkan dana Rp 486 triliun sejak 2015-2022, namun terjadi kebocoran 601 kasus korupsi dana desa dengan 686 tersangka melibatkan kepala desa dan perangkat desa. “Survey perilaku desa itu lebih korupsi dibanding kota,” katanya.

Penting adanya peran serta masyarakat dalam melakukan pengawasan agar target perencanaan kerja pemerintah desa serta penerimaan bantuan dapat terverifikasi serta tepat sasaran.

Untuk menuju peran serta masyarakat yang efektif, diperlukan penerapan layanan keterbuakaan informasi publik yang mudah diakses. Semisal, data program perencanaan, data belanja, data realisasi kegiatan, dan data-data lainnya dapat diakses melalui aplikasi berbasis smartphone.

Faktanya, hari ini sangat sulit mencari desa yang bersedia transparan menampilkan data-data tersebut secara transparan. Jika mekanisme keterbukaan informasi publik tidak diterapkan, maka peluang desa menjadi ladang korupsi akan terus terbuka lebar.(*/tribun jateng cetak)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved