Kronologi Tragedi Berdarah G30S PKI, Penculikan dan Pembantaian 6 Jenderal TNI AD 57 Tahun Lalu
Kronologi Tragedi Berdarah G30S PKI, Penculikan dan Pembantaian 6 Jenderal TNI AD 57 Tahun Lalu
Penulis: non | Editor: galih permadi
Kronologi Tragedi Berdarah G30S PKI, Penculikan dan Pembantaian 6 Jenderal TNI AD 57 Tahun Lalu
TRIBUNJATENG.COM - Berikut kronologi peristiwa berdarah G30S PKI, penculikan dan pembantaian 6 jenderal TNI AD 57 tahun lalu.
Pada 30 September, 57 tahun lalu terjadi peristiwa berdarah yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI).
G30S PKI adalah peristiwa penculikan serta pembunuhan enam jenderal dan satu perwira TNI AD dalam waktu satu malam.
Peristiwa G30S PKI dipicu oleh tudingan adanya Dewan Jenderal di tubuh AD yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.
Gerakan ini diinisiasi oleh Resimen Tjakrabirawa yang merupakan satuan tentara pengamanan presiden.
Mendapat informasi adanya rencana tersebut, Tjakrabirawa bersama para petinggi PKI berniat menghadapkan para jenderal tersebut kepada Soekarno.
Semula, operasi tersebut bernama Operasi Takari.
Namun, agar tidak berbau militer, namanya pun diubah menjadi Gerakan 30 September.
Rencana awal, G-30-S seharusnya bergerak pada 30 September 1965.
Kendati begitu, menurut Untung, Ketua Central Comitte PKI DN Aidit memerintah agar pelaksanaan ditunda sampai pasukan siap dan lengkap.
Setelah lokasi Lubang Buaya siap, Untung bersama bawahannya Kolonel (Inf) Latief bergerak ke Gedung Biro Perusahaan Negara Aerial Survey (Penas) di Jalan Jakarta By Pass (kini Jalan Jend. A Yani), Jakarta Timur.
Gedung itu biasa disewa Angkatan Udara (AURI).
Namun, malam itu, Soejono telah menyiapkan Gedung Penas sebagai Central Komando (Cenko) I untuk memantau jalannya operasi penangkapan para jenderal.
Operasi penculikan di bawah komando Untung direncanakan secara serampangan.
Banyak yang seharusnya terlibat, tetapi tidak datang saat peristiwa berlangsung.
Jumlah pasukan yang bergerak pun kurang dari 100 personel, sangat jauh dari yang diharapkan agar mampu memantik revolusi.
Hingga akhirnya, kekhawatiran Untung pun terjadi.
Operasi yang semula merupakan penculikan, berubah menjadi serangan berdarah.
Melansir Kompas.com, pada 1 Oktober 1965 pukul 03.30, anggota Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Sersan Kepala Bungkus mengingat pasukan terakhir diberangkatkan dari Lubang Buaya.
Ia khawatir, alokasi waktu 15 sampai 20 menit untuk Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani tidak akan cukup.
Sampai di kediaman Ahmad Yani di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat, Bungkus dan rekan-rekan segera meminta Yani ikut dengan alasan akan dibawah ke hadapan presiden.
Kala itu, Yani meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian.
Namun, Bungkus dan rekan-rekan menolak dengan marah.
A. Yani akhirnya menampar salah satu prajurit dan mencoba menutup pintu rumahnya.
Namun, salah satu prajurit melepaskan tembakan dan mengenai Yani hingga tewas.
Di Jalan Teuku Umar, tak bisa tidur nyenyak.
Nasution tidur bersama istrinya Johana Soenarti dan putri bungsunya yang belum genap lima tahun, Ade Irma Suryani.
Di kediaman Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal A.H Nasution menjelang pukul 04.00, terdengar suara kendaraan dan bunyi tembakan.
Pintu rumahnya dibuka paksa. Johana istri A.H Nasution segera mengecek apa yang gerangan terjadi.
Tak lama, Johana kembali ke kamar dan mengunci pintu sambil dan meminta sang suami untuk tetap di kamar.
Putri A.H Nasution, Ade Irma ikut terbangun akan kegaduhan tersebut.
Kendati sudah ditahan istrinya, A. H Nasution tetap keluar.
Adik Nasution, Mardiah, turut terbangun. Ia berusaha menyelamatkan Ade Irma dengan menggendongnya ke kamar lain.
Namun, gugup yang menyerang Mardiah membuat dia salah membuka pintu.
Ia pun disambut rentetan tembakan yang menembus hingga ke tubuh Ade Irma di gendongan.
Selain Ade Irma, ajudan Nasution, Kapten Czi. Pierre Andries Tendean juga tewas ditembak karena dikira Nasution.
Nasution sendiri berhasil menyelamatkan diri dengan memanjat tembok belakang.
Saat fajar, seluruh pasukan G-30-S kembali ke Lubang Buaya.
Wakil Komandan Satgas Pringgodani Mayor (Udara) Gatot Soekrisno merasa bingung saat para prajurit menurunkan empat orang yang terikat dan ditutup matanya, serta tiga mayat.
Padahal, rencana awalnya mereka akan dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Rentetan peristiwa itu kemudian berlanjut dengan pendudukan kantor berita Radio Republik Indonesia (RRI) oleh G-30-S.
Namun, pendudukan RRI hanya bertahan kurang dari sehari. Pasalnya, sekitar pukul 19.00, pasukan RPKAD kembali mengambil alih RRI.
Selanjutnya, pada 1 Oktober 1965 pukul 21.00, RRI Jakarta kembali mengumandangkan suara resmi pemerintahan RI.
Mulai malam itu, Ibu Kota Jakarta sepenuhnya berada di tangan ABRI dan kelompok G-30-S pun menjadi buronan. (*)