Fokus
Fokus: Tumbal Perdamaian
Tragedi Kanjuruhan jangan sampai terulang lagi. tidak perlu sampai seperti itu-Red)," kata satu tetangga saya, dalam diskusi ngalor-ngidul di pos rond
Penulis: arief novianto | Editor: m nur huda
Tajuk Ditulis Wartawan Tribun Jateng, Arief Novianto
TRIBUNJATENG.COM - "Nek wis kejadian akeh sing mati ngene iki nembe suporter sadar. Tragedi Kanjuruhan ojo sampe dibaleni meneh, ora perlu sampe koyo ngono (Kalau sudah kejadian banyak yang meninggal begini baru suporter sadar. Tragedi Kanjuruhan jangan sampai terulang lagi. tidak perlu sampai seperti itu-Red)," kata satu tetangga saya, dalam diskusi ngalor-ngidul di pos ronda kampung, kemarin malam.
Yah, hal itu menanggapi masih ramainya pemberitaan mengenai tragedi Kanjuruhan, Malang, di berbagai media, menyusul masih bertambahnya jumlah korban jiwa pada Selasa (11/10). Hal itu menjadikan jumlah total korban tewas dalam tragedi itu menjadi 132 orang.
Helen Pricela, warga Dampit, Kabupaten Malang, menjadi korban tewas terakhir, setelah sempat menjalani perawatan intensif di RSSA Malang selama 10 hari, sejak tragedi Kanjuruhan pada Sabtu (1/10) lalu.
Helen sudah dalam keadaan kritis, dengan pendarahan di organ dalam saat tiba di RSSA Malang. Helen diketahui menderita trauma di wajah, patah tulang tangan, serta mengalami cedera di dada dan perut.
Seperti diketahui, hingga kini Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) bentukan presiden terus bekerja untuk mengusut kejadian itu. Tim itu telah meminta keterangan sejumlah saksi mata dan korban luka-luka, menyambangi stadion, hingga memeriksa sejumlah pihak terkait, yakni panitia penyelenggara, PT LIB, hingga jajaran petinggi PSSI.
Sementara pada Rabu (12/10), Komnas HAM telah merilis temuan penyebab banyaknya korban jiwa dalam tragedi Kanjuruhan, terutama terkait dengan penggunaan gas air mata oleh polisi yang memicu suporter panik dan berhamburan berebut keluar stadion, sehingga terjadi desak-desakan.
Di luar itu, ucapan dukacita, belasungkawa, hingga doa-doa terus mengalir dari berbagai pihak, terutama para suporter tim sepakbola Tanah Air. Bahkan, jajaran Polres Malang melakukan sujud massal usai apel pada Senin (10/10) pagi, sebagai wujud permintaan maaf kepada korban dan keluarga, termasuk Aremania (suporter Arema FC), atas tragedi Kanjuruhan.
Sejumlah ajakan melalui ungkapan ber-hastag atau tanda pagar, di antaranya #salamperdamaian pun sempat ramai menghiasi laman sejumlah media sosial yang ditautkan dengan akun-akun suporter, hingga official tim sepakbola di seluruh penjuru negeri.
Hal itu terkait dengan gelaran doa bersama yang dilakukan suporter Persebaya Surabaya, Bonek, dan Aremania, di Stadion Kanjuruhan pada Rabu (5/10) malam. Setidaknya, hal itu telah mengawali perdamaian antara biru (Aremania) dan hijau (Bonek).
"Kita berharap ini momen di mana suporter satu Indonesia, di mana kita seperti mendukung Timnas, kita bersatu. Kita tetap mendukung masing-masing. Kita ingin satu tribun dengan caranya kita masing-masing tanpa ada pertumpahan apapun yang mengorbankan nyawa manusia. Itu yang diartikan rivalitas sehat," kata Perwakilan Bonek Mania Husein Gozali.
Tak hanya itu, berbagai aktivitas doa bersama yang digelar para suporter tim sepakbola Tanah Air di berbagai daerah dalam beberapa waktu terakhir, rasanya menyiratkan tingginya solidaritas, bahkan lebih jauh lagi adalah persatuan dan soliditas yang terbangun dari tragedi Kanjuruhan.
"Ternyata 131 nyawa melayang itu adalah tumbal perdamaian antara Bonek dan Aremania serta seluruh suporter di Indonesia pada umumnya. Ngeri dan miris memang jika di pikirkan oleh nalar manusia tapi ini semua SDH terjadi terlepas ini adalah takdir atau apapun itu namanya yg jelas 131 korban tersebut telah membuka mata dunia bahwa mereka lah pahlawan perdamaian antar suporter Indonesia," kata Ndari Singo Nade, di satu unggahan Facebook.
Tampaknya, kini nyawa 132 Aremania yang melayang telah jamak menyadarkan para suporter untuk bisa lebih baik dan rasional dalam memberikan dukungan bagi tim kesayangannya, meski gelaran kompetisi berbagai liga di Indonesia tengah dibekukan hingga waktu yang belum ditentukan.
Jumlah kematian di ajang kompetisi sepakbola yang disebut terbanyak kedua di dunia itupun kini menjadi pelajaran berarti bagi para suporter. Bisa jadi, memang para korban tewas itu adalah tumbal perdamaian suporter sepakbola di negeri ini. (*/tribun jateng cetak)
