Stikes Telogorejo Semarang
Pengaruh Resiliensi Pada Pasien TB Paru untuk Mencapai Kualitas Hidup Lebih Baik
Dukungan masyarakat kepada pasien TB akan jadi salah satu cara mengobati TBC efektif.
Penulis: Abduh Imanulhaq | Editor: galih permadi
Oleh : Ns. Suksi Riani, M. Kep, Dosen S1 Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang
Pandemi COVID-19 yang berlangsung hampir 3 tahun belakangan membuat pasien TB paru hidup dalam ketakutan.
Hal ini tentu saja membuat kualitas hidup mereka menurun sehingga risiko tertular pun semakin besar.
Ditambah stigma sosial terhadap pasien TB, tidak heran bila angka kematian akibat penyakit ini cukup tinggi.
Mengenal Penyakit TB Paru
Tuberkulosis atau TBC disebabkan oleh bakteri (mycobacterium tubercolusis) dan menimbulkan infeksi.
Sampai detik ini, TB masih menjadi penyakit paling berbahaya di dunia dan menjadi penyebab kematian terbesar di beberapa negara.
Menurut data WHO, setiap tahun sekitar 1,5 juta orang meninggal karena penyakit ini.
Sebagian besar penyakit TB menyerang paru-paru.
Pasien yang dideteksi memiliki penyakit ini biasanya akan mengalami batuk, demam, berkeringat di malam hari, kehilangan nafsu makan, berat badan turun, dan mengalami kelelahan akut. TB sendiri termasuk penyakit yang bisa diobati.

Namun jika TB terjadi pada pasien HIV positif, harapan hidup pasien tersebut cenderung rendah dan memiliki risiko kematian sangat tinggi.
Dalam proses penanganan secara medis, TB membutuhkan terapi dan pengobatan secara intensif.
Bahkan ketika sebuah kasus TB ditemukan, pihak-pihak terkait harus segera melakukan penanganan untuk mencegah penyebaran penyakit ini.
Kegiatan penemuan orang-orang yang tertular biasanya terdiri dari penjaringan terduga, diagnosa, bagaimana cara penularan TBC, penentuan klasifikasi TB, dan tipe penderita.