Fokus
Fokus: Pengungsi dan Wortel Busuk
GEMPA yang melanda Cianjur 21 November lalu masih menyisakan duka yang mendalam. Tak hanya nyawa dan harta benda, korban gempa Cianjur masih menghadap
Penulis: Erwin Ardian | Editor: m nur huda
Tajuk Ditulis Oleh Wartawan Tribun Jateng, Erwin Ardian
TRIBUNJATENG.COM - GEMPA yang melanda Cianjur 21 November lalu masih menyisakan duka yang mendalam. Tak hanya nyawa dan harta benda, korban gempa Cianjur masih menghadapi rumitnya persoalan setelah selamat dari Gempa.
Dari catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) total 321 orang meninggal dunia dan 11 orang masih hilang. Seperti lazimnya bencana alam, selain korban meninggal, mereka yang selamat namun rumahnya rusak kini terpaksa hidup di pengungsian.
Jumlah pengungsi bencana Cianjur kali ini sangat banyak, mencapai 73.874 orang terdiri dari pengungsi laki-laki 33.713 orang, perempuan 40.161 orang, penyandang disabilitas 92 orang, ibu hamil 1.207 orang, dan lansia 4.240 orang. Korban luka berat tercatat sebanyak 108 orang.
Banyaknya jumlah pengungsi menggambarkan bagaimana besarnya skala bencana gempa bumi di Cianjur. Pemerintah harus hadir dalam penanganan pengungsi. Sayangnya cerita pilu terus mengalir dari Cianjur.
Seminggu setelah gempa, cerita sedih dari pengungsian masih terus mengalir, seperti yang ditemukan di Desa Mekarsari, Kecamatan Cianjur, Jawa Barat. Dalam cerita yang dimuat banyak media, digambarkan seorang ibu rumah terlihat sedang membersihkan wortel busuk untuk dijadikan bahan makanan.
Bantuan logistik memang sudah tiba di lokasi pengungsi, namun menurut ibu tersebut, jumlah bantuannya masih terbatas, tak sebanding dengan jumlah pengungsi yang mencapai 200 orang.
Menurut pengungsi tersebut, proses pengajuan bantuan juga dinilai terlalu lama atau berbelit-belit. Heni, nama pengungsi itu menuturkan para pengungsi harus melapor ke RT, ke desa, terus ke kecamatan, untuk sekadar mendapatkan bantuan makanan.
Menurutnya setelah melapor pun, proses untuk mendapat bantuan masih lama. Kondisi makin memilukan, saat bantuan akhirnya datang, jumlahnya pun sangat sedikit. Menurut Heni, barang yang paling dibutuhkan selain makanan adalah obat-obatan, selimut, dan tenda. Heni khawatir karena tetangganya yang sama-sama tinggal di pengungsian mulai mengeluhkan sakit, terlebih anak-anak, batuk-batuk, demam.
Pemerintah sebenarnya sudah bergerak cepat melalui Satuan Tugas (Satgas) Gabungan menemukan titik pengungsian di seluruh Kabupaten Cianjur. Dari data yang ada, ada 325 titik pengungsi tersebar di semua wilayah Cianjur. Sebanyak 183 di antara titik itu terdapat pengungsi dengan jumlah di atas 25 orang.
Selain itu ada juga 142 titik pengungsian mandiri, artinya masyarakat yang mendirikan tempat-tempat pengungsian di sekitar rumahnya masing-masing dengan kekuatan (jumlah pengungsi) di bawah 25 orang.
Masih minimnya logistik membuat para pengungsi sempat berebut bantuan. Bantuan yang seharusnya dikirim untuk desa yang letaknya terpencil, sering kali dicegat atau diambil warga pengungsi lain.
Besarnya cakupan wilayah yang terdampak dan banyaknya jumlah korban membuat situasi di Cianjur masih belum kondisif hingga kini. Sebagai bangsa yang besar, sudah selayaknya kita tak hanya menyerahkan urusan pengungsi ini kepada pemerintah saja.
Uluran tangan dari segenap rakyat Indonesia kini sangat dibutuhkan untuk meringankan beban saudaranya yang terkena musibah di Cianjur. Jika semangat saling membantu dan gotong-royong masih ada, mustahil cerita pengungsi yang makan wortel busuk terdengar lagi di Cianjur. (*tribun jateng cetak)