OPINI
OPINI Aji Sofanudin : Religion of Twenty
Nahdlatul Ulama sukses menggelar Religion of Twenty (R20) yang kali pertama di dunia. R20 digagas pada Januari 2022 oleh Ketua Umum PBNU
Oleh Dr Aji Sofanudin
Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN
Nahdlatul Ulama sukses menggelar Religion of Twenty (R20) yang kali pertama di dunia. R20 digagas pada Januari 2022 oleh Ketua Umum PBNU dan diketuai secara bersama dengan Liga Muslim Dunia, organisasi yang berbasis di Mekkah.
Misi utama adalah mewujudkan kerja sama semua agama dan bangsa di dunia untuk mendorong terciptanya struktur politik dan ekonomi global yang selaras dengan nilai luhur setiap agama. R20 sukses dilaksanakan di Bali, 2-3 November 2022.
Mafhum, kegiatan tersebut “nebeng” presidensi G20 yang dituanrumahi oleh Indonesia sebagai pemegang presidensinya.
Ahmad Suaedy, Ketua panitia Religion of Twenty mengatakan peran agama semakin krusial dalam menyelesaikan berbagai masalah dunia.
Ada perang, konflik, kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, ketimpangan yang akut dan lain-lain. Agama harus keluar dari ruang privat. Agama harus hadir ke ruang publik dengan mengambil peran yang nyata (Majalah Aula, November 2022).
Lebih lanjut, Suaedy menambahkan melalui R20, NU berikhtiar mengajak para pemimpin agama untuk keluar dari sektor privat ke sektor publik. Jadi bisa dikatakan, R20 ini untuk menarik agama dari sektor privat ke sektor publik.
Jadi bisa terlibat langsung dalam penyelesaian di berbagia masalah. Tidak hanya menjadi legitimasi bagi program-program lembaga negara (Majalah Aula, November 2022).
Kita paham, Indonesia bukan negara sekuler yang menempatkan agama menjadi urusan privat. Indonesia adalah negara Pancasila, negara beragama yang memberikan kedudukan istimewa pada agama. Bunyi sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan YME.
Indonesia memiliki UU Pesantren, UU Haji, UU Wakaf, dan berbagai regulasi turuannya. Pendidikan agama wajib pada semua jenis dan jenjang pendidikan.
Tidak benar bahwa agama hanya menjadi urusan privat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Belajar dari Aceh
Terkait peran agama di ruang publik yang lebih luas kita bisa belajar dari Aceh. Aceh identik dengan Islam. Berbicara mengenai Aceh secara tidak langsung berbicara tentang masyarakat Islam.
Aceh itu daerah aman, ramah terhadap tamu, serta memiliki destinasi wisata yang menarik.
Masyarakat Aceh welcome terhadap siapa pun, termasuk yang memiliki agama berbeda (nonmuslim). Temuan riset yang menyatakan adanya warga kelas satu (orang Islam) dan kelas dua (selain Islam) hemat kami saat ini tidak relevan.
Misalnya, di dearah Penayong, Banda Aceh banyak dijumpai wanita tidak berjilbab (nonmuslim) bebas beraktivitas. Ada juga sekolah Budhi Dharma (Katholik) dan Methodis (Kristen) yang berkembang di Aceh.
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh tidak otomatis menempatkan warga nonmuslim menjadi masyarakat kelas dua.
Aceh merupakan daerah istimewa selain DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Aceh juga merupakan daerah otonomi khusus sebagaimana Papua dan Papua Barat.
Sehingga Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang merupakan daerah istimewa dan memiliki otonomi khusus sekaligus.
Sebagai daerah otonom, Aceh memiliki kekhususan-kekhususan. Secara umum yang membedakan Aceh dengan provinsi lain di Indonesia adalah adanya Qanun (hukum Islam) yang berlaku di Aceh, sebagai peraturan daerah.
Dalam praktiknya, Aceh memiliki sistem eksekutif, legislatif, dan yudikatif “tambahan” sebagai implementasi dari UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebagai contoh, Aceh memiliki Partai Lokal, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Majelis Permusyawaratan Ulama (MUI nya di Aceh).
Pada level eksekutif Aceh memilliki Dinas Syariat Islam, Dinas Pendidikan Dayah (pesantren), Badan Akreditasi Dayah (BADA) dan Majelis Pendidikan Aceh.
Demikian juga di tingkat yudikatif Aceh memiliki Mahkamah Syariah. Secara umum, hal tersebut merupakan bentuk formalisasi “hukum masyarakat” yang sudah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun di Aceh.
Hemat kami, Aceh adalah daerah yang nyaman, aman, dan religius. Nyaman karena masyarakat Aceh ramah terhadap pendatang/tamu.Meskipun sejarah Aceh penuh dengan peperangan, masyarakat Aceh pada dasarnya suka perdamaian.
Secara faktual, saat ini Aceh merupakan daerah yang sangat aman. Bahkan, tingkat kriminalitas di Aceh rendah. Tetapi memang, karakter orang itu tidak suka basa basi, to the point. Jika tidak suka, maka akan disampaikan secara langsung.
Hal ini tercermin dari ungkapan bahasa sehari-hari. Sangat beda antara orang Aceh dengan orang Jawa. Sebagai contoh orang Aceh mengatakan, tuh I (saya mau kencing), to the point secara langsung.
Berbeda dengan orang Jawa bade teng wingking (saya mau ke belakang) yang menyiratkan bahasa kiasan.
Rakyat Aceh percaya sepenuhnya kepada ulama, bahkan kepada ulama “jadi-jadian”.
Sejarah mencatat bagaimana rakyat Aceh (dulu) sangat menghormati dan menerima sepenuhnya Christiaan Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang mengaku sebagai ulama.
Dia menyamar sebagai Abdul Ghafar, dan bahkan rakyat Aceh memberinya gelar Teungku Puteh. Teungku adalah sebutan untuk tokoh agama, di Jawa disebut kyai. Puteh karena Hurgronje memiliki warna kulit yang putih.
Masyarakat Aceh sangat menghormati dan mempercayakan berbagai hal kepada ulama. Dalam batas tertentu, yang berlaku di Aceh adalah kedaulatan berada di tangan ulama dan dilaksanakan menurut undang-undang. Wallahu’alam.
Baca juga: Didukung Capres Dari PAN, Ganjar; Biar Antarpartai Komunikasi, Ketum yang Memutuskan
Baca juga: Prediksi Korea Selatan Vs Portugal Piala Dunia 2022, H2H, Skor, Susunan Pemain, Link Live Streaming
Baca juga: Kesaksian Para Korban Banjir Bandang di Tambakromo Pati, Air Datang seperti Gelombang Laut
Baca juga: Kunjungi Korban Banjir Rob di Tambaklorok Semarang, Mbak Ita : BTT Segera Dicairkan