Dampak Ekonomi Global Terhadap Dunia Usaha di Jawa Tengah
Memasuki periode akhir tahun 2022 ini kondisi perekonomian Jawa Tengah semakin membaik.
Oleh: Ence Ruzzi
TRIBUNJATENG.COM - Memasuki periode akhir tahun 2022 ini kondisi perekonomian Jawa Tengah semakin membaik, permintaan ekspor komoditas utama Jawa Tengah, seperti TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), alas kaki, dan furnitur diperkirakan akan tetap tumbuh positif ditengah kondisi pemulihan ekonomi yang sedang dalam masa pemulihan.
Komoditas tekstil dan produk tekstil (TPT) masih diharapkan menjadi salah satu produk unggulan di Provinsi Jawa Tengah, karena industri ini ternyata masih kuat menjaga pertumbuhannya meskipun menghadapi kondisi yang masih belum stabil efek tingginya tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Meski demikian, percepatan normalisasi kebijakan moneter, implementasi kebijakan zero Covid-19 di Tiongkok, penurunan daya beli masyarakat dunia di tengah peningkatan inflasi dan eskalasi tensi geopolitik Rusia-Ukraina, serta gangguan rantai pasok global akan berdampak pada pelemahan kinerja ekspor.
Untuk itu perlu dukungan kebijakan yang membantu sektor ini untuk tetap bisa bersaing dengan memberi kelonggaran maupun pemberian kebijakan yang memudahkan proses ekspor produk tersebut keluar, baik melalui inovasi maupun promosi yang bisa mengangkat citra nilai produk-produk tersebut untuk bersaing di tingkat internasional.
Sehingga akan sangat membantu pelaku dunia usaha dibidang tekstil dan produk tekstil, alas kaki maupun furniture.
Beberapa sektor yang terimbas dinamika kondisi global saat ini diantaranya industri tekstil dan industri makanan dan minuman.
Di sektor tekstil, bahan baku yang merupakan bahan utama pendukung industri ini seperti kapas, polyester, dan rayon terkena dampak tidak langsung dari kenaikan harga sejumlah komoditas energi, seperti minyak dan gas bumi.
Efek ini merupakan efek domino dari rantai alur produksi, dimana proses produksi tekstil ini tentunya merupakan konektifitas dengan alur transportasi dan distribusi, dimana jika salah satu unsur pendukung produksi mengalami kenaikan harga, maka akan menyebabkan unsur lain sampai dengan produk akhir sebuah industry akan ikut naik untuk menutup biaya produksinya.
Di industri makanan dan minuman, penurunan ekspor terjadi seiring dengan penurunan kapasitas produksi industri akibat kelangkaan rantai pasok akibat konflik Rusia-Ukraina dan proteksionisme beberapa negara untuk menjaga pasokan pangan dinegara tersebut.
Efek dari konflik perang Rusia dan Ukraina menyebabkan beberapa bahan baku mengalami keterlambatan distribusi sehingga menghambat proses produksi yang sumber bahan bakunya berasal dari salah satu Negara di sekitar daerah konflik tersebut.
Pada akhirnya dengan melambatnya distribusi bahan baku, maka proses produksi tidak bisa maksimal dilakukan yang berakibat pada output produk untuk di ekspor mengalami penurunan.
Penurunan impor bahan baku baik bahan baku produksi tekstil maupun bahan baku makanan dan minuman disebabkan oleh pemberlakuan kebijakan pengendalian impor dan hilirisasi bahan baku dari perusahaan dalam negeri.
Selain itu, imbas konflik Rusia – Ukraina dan proteksionisme beberapa Negara terhadap sumber daya alamnya, antara lain pelarangan ekspor gandum oleh India sehingga menyebabkan penurunan impor gandum oleh Negara lain termasuk Indonesia.
Hal ini menyebabkan tekanan di sisi pasokan gandum perlu menjadi perhatian bagi pasokan pangan domestik agar produksi industri makanan yang bergantung pada bahan baku gandum bisa tertangani untuk menghindari efek surutnya output produk makanan yang merupakan salah satu objek ekspor ke berbagai negara.