Fokus
Fokus: Saat Beras Impor Mulai Datang
Kabar gembira dihembuskan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang mengatakan stok beras di daerah ini aman.
Penulis: muslimah | Editor: m nur huda
Tajuk Ditulis Oleh Wartawan Tribun Jateng, Muslimah
TRIBUNJATENG.COM - Kabar gembira dihembuskan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang mengatakan stok beras di daerah ini aman.
Karenanya ia tak masalah jika Jateng tak masuk daftar provinsi penerima jatah impor beras. Ganjar bahkan menyebut, 'jangan sampai'.
Ganjar berani mengatakan stok beras di Jateng aman berpatokan data BPS 2022. Di situ di sebutkan daerah ini merupakan lumbung padi terbesar ke-2 di Indonesia dan menghasilkan 9,57 ton.
"Jadi, jangan sampai beras impor masuk. Untuk daerah yang membutuhkan saja," kata Ganjar.
Masalah beras ini dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan. Laporan Bank Dunia yang menyebut kalau harga eceran beras di Indonesia secara konsisten merupakan yang tertinggi dibanding negara-negara anggota ASEAN lainnya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Diungkapkan, harga beras di Indonesia 28 persen lebih tinggi dari harga beras di Filipina, bahkan harganya dua kali lipat lebih mahal dibandingkan harga beras di Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand.
Bank Dunia menambahkan, mahalnya harga beras di Indonesia dipengaruhi beberapa faktor, terutama kebijakan pemerintah yang mendukung harga pasar bagi produsen di sektor pertanian.
Meliputi kebijakan pembatasan perdagangan, kurangnya investasi jangka panjang dalam riset dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) serta rantai pasokan yang panjang dan biaya distribusi tinggi di sebagian wilayah Indonesia.
Karena merupakan kebutuhan pokok, harga beras yang tinggi ini berkontribusi langsung terhadap laju inflasi di Tanah Air.
Tentu saja laporan Bank Dunia ini memerahkan kuping pemerintah. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan bantahannya. Ia menyebut harga beras Indonesia justru nomor dua terendah di Asia.
Ia pun mempertanyakan waktu pengambian data Bank Dunia yang diprediksi dilakukan saat musim tanam dimana tidak ada panen. Ketiadaan ini otomatis membuat harga beras tinggi.
Entah data siapa yang benar, Bank Dunia atau pemerintah. Yang jelas masalah beras terus menjadi perhatian.
Kebijakan Bulog yang memutuskan untuk impor 5.000 ton beras asal Vietnam juga disorot. Beras impor tersebut merupakan bagian dari total 200 ribu ton yang direncanakan datang bertahap hingga sebelum panen raya 2023.
Yang paling disorot adalah perbedaan data antara Kementerian Pertanian dan Bulog. Kementan menyatakan produksi beras sangat optimal alias surplus, yakni di atas 10,42 juta hektare hingga Indonesia tidak perlu mengimpor beras.
Sementara di pihak lain Bulog justru mengatakan kalau mereka mengalami defisit dan harga beras pun terus merangkak naik.
Alasan itulah yang membuat Bulog memutuskan impor agar volume cadangan beras pemerintah (CBP) akan kembali normal.
Ini tentu jadi kabar menyedihkan karena tiga tahun sebelumnya sejak 2019 hingga 2021 Indonesia tak lagi mengimpor beras.
Bagaimana bisa Indonesia negara yang dianugerahi sumber daya alam melimpah justru seringkali memenuhi kebutuhan vital di dalam negerinya dengan jurus impor.
Sebagai perbandingan, konon Vietnam yang hanya mempunyai lahan pertanian sebesar 7,2 juta hektare bisa menghasilkan produksi beras 44 juta ton pertahun.
Vietnam bahkan bisa menjadi negara pengekspor beras nomor 2 terbesar dunia di tahun 2020.
Sedangkan Indonesia mempunyai lahan pertanian sebesar 70 juta hektare tetapi hanya menghasilkan beras nasional sekitar 31 juta ton pertahun.
Tentu saja ini bukan waktunya untuk saling menyalahkan. Mari akhiri perdebatan dengan kesepakan untuk memperbaiki apa yang dinilai keliru Data harus disamakan sehingga kebijakan yang muncul bisa efektif dan tepat sasaran.
Jangan sapai pula kebijakan impor beras justru merugikan petani. (*tribun jateng cetak)