Berita Semarang
Kekerasan Berbasis Gender Meningkat di Semarang, Tertinggi Relasi Pacaran
LBH Semarang mencatat kasus kekerasan berbasis gender terus meningkat di tahun ini.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - LBH Semarang mencatat kasus kekerasan berbasis gender terus meningkat di tahun ini.
Lembaga tersebut di tahun 2022 menerima 46 aduan kasus yang mana tahun sebelumnya hanya menerima 19 aduan kasus.
"Peningkatan cukup signifikan yakni di angka 142 persen," ujar PBH Advokasi Bidang Sipol LBH Semarang , Tuti Wijaya, seperti dinukil Tribun, Rabu (28/12/2022).
Dari total 46 aduan kasus, 43 korbannya perempuan, dua laki-laki dan satu transpuan.
Pola pelanggan masih sama yakni hubungan relasi antara korban dengan pelaku.
"Relasi berpacaran menjadi pola tertinggi, sedangkan 15 korban berasal dari perguruan tinggi atau mahasiswa," bebernya.
Masih di dunia pendidikan, LBH Semarang dalam pertengahan tahun 2022 telah menerima aduan dari seorang guru di sekolah swasta di kota Semarang.
Guru perempuan itu telah mengalami kekerasan seksual secara online berupa fotonya diedit secara tidak pantas, dan disebar tanpa izin dari korban.
Hal itu dilakukan oleh sesama rekan kerja korban yang seorang guru.
Kasus itu menunjukkan bahwa pelaku bisa muncul di mana saja termasuk dari kalangan guru.
"Kami memberikan peringatan keras terhadap pelaku kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) tersebut dengan memberikan somasi akhirnya pelaku minta maaf," ujarnya.
Tak hanya di bidang pendidikan, di kalangan para aparatur sipil negara telah terjadi pula tindakan Kekerasan.
LBH Semarang sejak akhir tahun 2021, menerima aduan seorang perempuan PNS Kendal yang mengalami KDRT.
Secara formal, untuk menempuh peceraian secara sah harus menempuh mekanisme peraturan tersendiri.
Sayangnya, ketika korban berupaya menempuh langkah-langkah untuk mendapatkan izin perceraian terkendala izin di sekda Kendal.
Sekda Kendal tidak memperbolehkan perceraian dengan alasan tak masuk akal di antaranya harus ada bukti surat dari psikolog untuk menerangkan korban alami kekerasan secara psikis.
"Kami LBH Semarang mendampingi untuk mendapatkan izin cerai sampai saat ini tidak diberikan izin, langkah yang sedang ditempuh dengan melakukan gugatan di PTUN untuk menggugat SK penolakan tersebut," bebernya.
Pihaknya juga melakukan gerakan cepat mengamankan korban transphobia di keluarga pada April 2022.
Korban kala itu mendapatkan kekerasan karena memilih menjadi transpuan.
"Ketika itu situasi cukup genting sehingga kami mencarikan rumah aman bagi korban, kami coba ke provinsi tapi tidak boleh karena KTP tercatat jenis kelamin laki-laki," terangnya.
Ia menyebut, masih ada beberapa pekerja rumah terkait keadilan bagi korban kekerasan gender seperti korban KBGE.
Di ranah pengadilan masih ditemukan kasus KBGE diputus sangat ringan.
"Pelaku yang telah melakukan penyebaran konten dihukum ringan, hal ini menunjukkan aparat penegak hukum tidak memiliki perspektif gender sehingga putusan ringan," ungkapnya.
Begitupun terkait refleksi terhadap UU TPKS dan Permendikbud-Ristek 30/2021, menurutnya, aplikasinya masih sangat lamban, undang-undang itu ada hanya lima perpes dan lima perda sampai sekarang belum ada peraturan turunan.
"Memang itu membuat lamban, itu yang masih PR," tandasnya. (Iwn)