Berita Semarang
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Semarang Meningkat di Tahun 2022, Didominasi KDRT
LBH APIK Semarang mencatat di tahun 2022 angka kekerasan terhadap perempuan dan anak masih meningkat, terutama pada kekerasan seksual dan Kekerasan.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - LBH APIK Semarang mencatat di tahun 2022 angka kekerasan terhadap perempuan dan anak masih meningkat, terutama pada kekerasan seksual dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
LBH APIK Semarang di tahun 2022 mendapatkan pengaduan sebanyak 82 kasus dan 17 kasus yang didampingi oleh LBH APIK Semarang di dalam pendampingan bantuan hukum dari tingkat
kepolisian dan pengadilan.
Angka itu meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat tahun 2020 ada 75 kasus dan tahun 2021 ada 67 kasus.
"Melihat kasus itu dibutuhkan peran penting negara, masyarakat dan aparat penegak hukum dalam
pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan," ujar Direktur LBH Apik Semarang Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko saat dihubungi Tribun, Rabu (28/12/2022).
Dari data pengaduan kasus masuk di LBH APIK Semarang tahun 2022, kekerasan dalam rumah tangga baik fisik, psikis dan penelantaran ekonomi menempati rangking pertama dengan 33 kasus.
Disusul kekerasan berbasis gender online (KBGO) atau kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) dengan total 17 kasus. Berikutnya ada kasus kekerasan seksual terhadap anak ada 8 kasus.
Sisanya terbagi di berbagai kasus lain seperti penelantaran anak, penganiyaan dan lainnya.
Persebaran daerah paling banyak berasal dari kota Semarang yakni ada 36 kasus, Kabupaten Demak 17 kasus, kabupaten Semarang 4 kasus dan berbagai daerah lainnya.
"Relasi pelaku masih didominasi oleh orang terdekat yakni suami dan pacar atau mantan pacar," terang Ayu.
Berdasarkan pengalaman LBH APIK Semarang, kata dia, dalam penanganan kasus, budaya patriarki masih
kental mempengaruhi sistem hukum di Indonesia, baik di ranah substansi hukum, struktur hukum serta
budaya hukum.
Sistem hukum yang bias gender ini sangat merugikan bagi perempuan yang menjadi
korban kekerasan sehingga seringkali kehilangan hak-haknya karena sistem tersebut tidak mendukung
akses keadilan bagi dirinya.
Dalam upaya mencari keadilan bagi perempuan yang mengalami kekerasan
berbasis gender antara lain perempuan yang menjadi korban kekerasan selama masa Pandemi Covid 19
di tahun 2022 seringkali mengalami hambatan.
Hambatan tersebut berupa untuk memperoleh hak-haknya sebagai korban, baik
melalui penyelesaian litigasi dan non litigasi serta melalui peradilan perdata maupun pidana.
Berdasarkan pengalaman para korban perempuan tersebut, selain mereka membutuhkan layanan pendampingan bantuan hukum juga membutuhkan pendampingan untuk melakukan advokasi perubahan
sistem hukum yang adil dan setara gender.
"Tujuannya untuk menciptakan sistem hukum yang adil di semua aspek
kehidupan ekonomi, politik, dan sosial budaya untuk mereka," terangnya.