OPINI
OPINI Paulus Mujiran : Akuntabilitas Jabatan Kepala Desa
RIBUAN kepala desa dari seluruh Indonesia melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1).
oleh Paulus Mujiran, SSos, MSi
Alumnus Magister Administrasi Publik Undip
RIBUAN kepala desa dari seluruh Indonesia melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1).
Mereka menuntut masa jabatan kades yang selama ini enam tahun menjadi sembilan tahun dan dapat dipilih kembali hingga dua periode. Mereka menuntut DPR RI merevisi Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Khususnya pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa Kepala Desa memegang jabatan selama enam tahun, terhitung sejak tanggal dilantik menjadi sembilan tahun maksimal dua kali masa jabatan. Alasan yang mereka kemukakan adalah masa jahatan enam tahun berdampak negatif terhadap desa karena melahirkan dampak dan konflik berkepanjangan.
Selain itu dana yang seharusnya digunakan untuk pemilihan kades lebih baik digunakan untuk pembangunan sumber daya desa. Masa jabatan enam tahun menurut para kades dirasa tidak cukup untuk membangun desa.
Namun ide kepala desa itu tentu masih layak untuk diperdebatkan. Alasannya masa jabatan enam tahun yang dipandang belum cukup mengatasi keterbelahan desa akibat pemilihan kepada desa kurang tepat.
Waktu enam tahun cukup bagi kepala desa untuk merangkul baik pihak yang mendukung maupun yang kontra untuk bersama-sama membangun desa.
Waktu enam tahun juga sangat cukup untuk melaksanakan program-program desa, sekaligus menjadi waktu yang sangat lama untuk memerintah desa dengan rata-rata jumlah penduduk yang hanya puluhan ribu. Pengamat politik Ubeidilah Badrun menyebut bukan soal waktu melainkan minimnya kemampuan leadership kepala desa (Tempo, 19/1).
Dana Desa
Jika dibandingkan dengan eksekutif yang mempunyai masa jabatan 5 tahun dan berhasil melaksanakan sejumlah megaproyek, kenapa desa tidak dapat melakukan?
Walaupun masa jabatan diperpanjang menjadi sembilan tahun namun substansi permasalahan tidak ditemukenali dan diselesaikan maka kepala desa tidak dapat menjalankan program-programnya dengan maksimal. Hanya sedikit desa yang melahirkan kisah sukses pembanguan dan pemberdayaan masyarakat dan berhasil.
Terkait konflik berkepanjangan yang mungkin terjadi di desa sebagai akibat dari pilkades apakah tidak sebaliknya?
Justru setelah dilantik menjadi kepala desa seharusnya bisa mengakomodir semua pihak terutama pihak yang kalah dengan mengembalikan kondisi politik desanya menjadi adem ayem. Justru kalau kepala desa gagal mengelola desanya dan konflik masih terjadi kita meragukan kapasitas kepala desa terpilih.
Opini Urip Triyono: Anak Polah Bapa Kepradah |
![]() |
---|
Opini Drs Wahyudi: Model Kepemimpinan Transformasional Ahmad Dahlan |
![]() |
---|
Opini Djoko Subinarto: Dana Kotor Pemilu |
![]() |
---|
6.000 Lembar Uang Konglomerat di Purwokerto Membatu, Ini yang Terjadi Saat Dibawa ke Bank Indonesia |
![]() |
---|
Opini Tukijo: Revitalisasi Bahasa Daerah Era Merdeka Belajar |
![]() |
---|