Fokus
Fokus: Menunggu Keberanian Hakim Memvonis Maksimal Koruptor
EKS Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo, dijatuhi hukuman mati dalam kasus pembunuhan terhadap anak buahnya, Brigadi
Penulis: rustam aji | Editor: m nur huda
Tajuk Ditulis Oleh Wartawan Tribun Jateng, Rustam Aji
TRIBUNJATENG.COM - EKS Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo, dijatuhi hukuman mati dalam kasus pembunuhan terhadap anak buahnya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2). Vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Wahyu Imam Santoso, Morgan Simanjuntak, dan Alimin Ribut Sujono, itu lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut hukuman seumur hidup.
Hukuman maksimal juga dijatuhkan kepada istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, yang dinilai turut serta merencanakan pembunuhan Brigadir J dengan vonis 20 tahun penjara. Hukuman yang dijatuhkan hakim ini juga lebih berat daripada tuntutan JPU yang hanya menuntut 8 tahun penjara. Tak hanya kepada Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. Hukuman berat juga dijatuhkan kepada Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal, yang masing-masing dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan 13 tahun penjara, dalam kasus yang sama.
Mereka dijatuhi hukuman berat karena di antaranya dinilai berbelit-belit dan tidak jujur ddalam memberikan keterangan dalam persidangan.
Publik pun menyambut positif vonis yang diberikan kepada mereka. Artinya, masih ada rasa keadilan dan harapan terhadap hukum di negara ini. Hukum tidak tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah.
Semoga saja hakim berani bertindak berdasar rasa keadilan tidak hanya pada kasus pembunuhan Brigadir J, namun juga pada kasus-kasus yang lainnya, terutama kasus korupsi. Sebab, pada persidangan kasus korupsi, hasilnya dinilai masih jauh dari rasa keadilan. Padahal, apa yang dilakukan oleh para koruptor, rata-rata juga terbukti dan meyakinkan kalau mereka melakukan korupsi.
Pada saat sama, pelaku koruptor dalam melakukan korupsi, biasanya juga tidak sendiri. Artinya di sini sudah memenuhi unsur perencanaan dan kesengajaan dalam ‘menggarong’ uang negara. Namun di sisi lain, vonis yang diberikan kepada mereka (pelaku korupsi) masih jauh dari ekspektasi rasa keadilan. Dan, mirisnya lagi jarang dihukum maksimal, apalagi sampai hukuman mati, nihil. Padahal tindakan korupsi termasuk dalam kategori kejahatan extra ordinary. Tapi pada kenyataannya hukumannya seringkali minimalis.
Tak berlebihan bila kemudian nilai indeks persepsi korupsi (IPK) tahun 2022 di negara Indonesia terus mengalami penurunan. IPK anjlok dari 38 ke 34. Nilai ini menempatkan Indonesia berada di urutan 110 dari 180 negara di dunia.
Apakah tidak ada keseriusan dari aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi? Wallahu’alam. Tapi melihat kenyataan saat ini, publik tentu bisa menebak sendiri.
Karena itu dibutuhkan keberanian hakim untuk memvonis maksimal pelaku korupsi di negeri ini dengan hukuman seberat-berat. Bila tidak dengan hukuman mati, setidaknya seumur hidup. Sehingga akan benar-benar memberi efek jera.
Hukuman maksimal, tidak hanya dijatuhkan kepada pelaku pembunuhan, pengedar narkoba, maupun kasus terorisme saja. Namun juga koruptor yang kejahatannya dikategorikan sebagai extra ordinary crime! (*tribun jateng cetak)